•26 | First Day at The Palace•

199 45 2
                                    

•••

“Dia bukan gadis bangsawan. Perilakunya benar-benar buruk!”

“Tidakkah dia malu tinggal di tempat ini? Seorang pembunuh Permaisuri terdahulu, tidak pantas ada di sini bukan?”

“Jangan dekat-dekat dengan anak terkutuk itu! Dia akan membawa kesialan dalam hidupmu!”

“Berani sekali dia memerintahku. Apa dia tidak sadar kalau hanya mendapatkan rasa kasihan dari Raja?”

Panas. Satu kata yang dirasakan oleh gadis bersurai cokelat gelap itu. Netra hijau cerahnya sejak tadi berusaha untuk tidak melotot ataupun mendelik tajam ke semua orang yang mencacinya. Sungguh, rasanya ingin pergi saja dari tempat ini.

‘Memang, ya, rumah besar dan cantik nggak menjamin nyaman buat ditinggali.’ Gadis itu tersenyum kecut. Ditatapnya lamat-lamat wajah yang terpantul di kaca besarnya itu.

“Putri, air mandi sudah siap.” Suara seorang gadis tiba-tiba menginterupsi. Membuat atensi Amaryllis menoleh ke arahnya.

“Deidamia ... sudah kubilang jangan panggil aku ‘Putri’.” Merasa gemas, Amaryllis berdecak tak suka.

Deidamia, sang pelayan hanya terkekeh. Ia lantas menunduk hormat. “Maaf, Putri. Sebaiknya Anda membiasakan diri. Jika ada yang mendengar, saya bisa kena hukuman dari Raja nanti,” ujarnya.

Memutar bola matanya malas, Amaryllis mengibaskan sebelah tangannya. “Memangnya dia peduli denganku? Dibuang selama sepuluh tahun, mana mungkin dia peduli. Ck!”

Lagi, Deidamia hanya tersenyum tipis menanggapi. Memang sejak kemarin kedatangan Sang Putri, tak ada satu pun anggota kerajaan yang menyambutnya baik. Semuanya hanya berisi cacian dan makian. Bahkan, Raja Astrofengia tak menemui anaknya yang sudah diasingkan selama 10 tahun.

“Aku akan mandi sendiri. Ingat! Mandi sendiri!” tegas Amaryllis yang sudah bangkit dari duduknya.

Deidamia geleng-geleng kepala. Ia memutuskan untuk menunggu tuannya itu di luar saja. Sekalian, ia akan menyiapkan berbagai peralatan yang ada. Oh, jangan lupakan gaun yang cantik dan pas untuk Sang Putri.

***

Menenggelamkan tubuhnya di kolam yang cukup besar dan lebar, Amaryllis menghela napas panjangnya sejenak. Rasa hangat dari pemandian, cukup membuat tubuhnya sedikit rileks. Setidaknya rasa kesalnya jadi menguap.

Netranya kini berpendar menuju jendela ruang mandi yang tertutup. Di celahnya terlihat jika sinar sang surya mulai merangkak naik. Membawa ingatannya menuju misi yang akan ia tuntaskan.

“Akan kuselesaikan masalah kerajaan ini. Lihat saja, kalian belum tahu sosok Amaryllis yang ini bukan?” Tersenyum miring, netranya menatap tajam penuh semangat yang membara.

Jujur saja, ia sangat kesal diperlakukan seperti ini. Hei, ia, ‘kan, anak resmi dan sah dari seorang Permaisuri terdahulu. Lalu, mengapa semua orang malah tidak menghormatinya seperti ini?

Begini, Amaryllis bukanlah orang yang pendendam. Hanya saja, ia tidak terima diperlakukan seperti ini. Jika hal ini dibiarkan, maka nasibnya akan mengenaskan. Menurut buku Evanescent Felicity pun membahas hal itu di mana sosok Putri Amaryllis yang selalu diam diperlakukan tidak sopan bahkan disiksa. Ayolah, ia tentu tidak akan bersikap seperti Putri Amaryllis, ‘kan?

‘Ah ... mari buat kehebohan di Istana Astrofengia ini, Amaryllis?’ batin Amaryllis sembari menyeringai mengerikan.

***

Evanescent Felicity [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang