bagian 12 • drama

157 24 2
                                    

Pukul tujuh pagi, mobil Jeongyeon sudah berada di antara drama-drama lalu lintas. Buntut truk pengangkut jerami menjadi panorama yang tidak baru sama sekali. Klakson sahut-sahutan berbunyi mengiringi pergerakan minim mobil Jeongyeon di tengah kemacetan khas Ibukota. Baru pukul tujuh pagi, tapi warna abu-abu tipis berkat polusi tidak dapat diindahkan. Memberi kesan komplit dan membanting ekspektasi Jeongyeon terhadap lalu lintas yang ideal.

Mengesampingkan hal itu, wajah Jeongyeon justru terlihat secerah bulan tadi malam. Senyum menggantung di sisi bibirnya sambil bersenandung mengikuti melodi dan ketukan lagu yang tersiar dari radio. Sesekali tubuhnya meliuk kanan dan kiri. Suasana hati gadis itu sedang baik karena baru saja mendapatkan pesanan pengunjung secara offline.

Satu pesan masuk sekitar pukul setengah enam pagi tadi. Seseorang meminta jemputan di daerah barat kota dengan titik tujuan di daerah timur kota. Biaya request tanpa aplikasi dijamah dengan harga dua kali lipat lebih tinggi, apalagi jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Pemasukan Jeongyeon sepertinya akan lebih banyak hari ini. Membayangkan bertambahnya penghuni dompet itu lantas menciptakan senyum lebar disertai rasa semangat yang membara.

Jeongyeon melirik jam digital di atas dashboard, tersisa satu jam lagi sebelum waktu janjian. Sementara jangka tempuh untuk sampai ke lokasi penjemputan hanya berkisar dua puluh menitan. Oke, macet boleh mengganggunya untuk sebentar saja. Jeongyeon akan membiarkannya kali ini.

Setelah kurang lebih dua pertiga jam berjalan, akhirnya Jeongyeon sampai di titik bertemu yang ternyata berupa gang. Dia celingukan mencari sosok berjaket kulit hitam dan rambut agak gondrong setelah menghentikan laju mobilnya di tepi jalan. Keasyikan mengedarkan pandang, Jeongyeon tidak sadar seseorang tengah melambai menghadap jendela tepat di sampingnya. Gadis itu buru-buru mengaktifkan tombol agar pintu penumpang bisa dibuka.

"Selamat pagi, lokasi tujuan sesuai dengan kesepakatan--" Mulut Jeongyeon melongo disertai mata melotot. Dia sadar betul cowok di kursi kemudi itu siapa. Menaturalisasi ekspresi, Jeongyeon lekas mengatupkan bibir dan bersikap biasa saja seolah tidak mengetahui apa-apa. "Lokasi tujuan sesuai kesepakatan kemarin, ya?"

Jeongyeon memalingkan muka. Sumpah, dia terlalu lengah dengan situasi sekarang sampai-sampai sukar berpikir jernih. Tujuannya hanya ingin bekerja tenang, tapi mengapa takdir mempertemukannya dengan Yoon Jeonghan? Sasaran yang harus dia selidiki dan kulik banyak informasi.

Aduuh, kenapa penumpang gue harus dia? Mana minat detektif gue belum muncul, gue pengennya hari ini nyupir dengan tenang, anjir!

"Wajah lo kenapa pucet gitu?"

Mobil bergerak perlahan. Jeongyeon fokus pada jalanan dan berusaha mengatur deru napas yang entah mengapa semakin cepat.

"B aja, gak usah sokab!" sembur Jeongyeon dengan nada jutek.

"Dih, galak."

"Emang."

Mereka tampak seperti kawan lama, bukan? Namun nyatanya baru kali ini mereka bertemu dan berkomunikasi. Hanya saja, kejengkelan Jeongyeon akan sosok Jeonghan sudah mendarah daging. Mengairi setiap desiran oksigen. Keduanya berada dalam satu naungan perusahaan transportasi online. Bedanya, Jeongyeon mobil, sedangkan Jeonghan sepeda motor. Jeongyeon bahkan terheran-heran kenapa Jeonghan mendadak memakai jasa ojek. Meski tidak pernah tatap muka secara langsung, Jeongyeon dan Jeonghan sudah saling mengenal berkat kontes bintang terbanyak yang diadakan perusahaan untuk mengapresiasi kinerja driver.

Di sana, Jeonghan mendapat penghargaan supir tertampan. Dan jangan ditanya, kategori predikat supir tercantik disabet Jeongyeon setiap tahun. Mereka sangat terkenal di kalangan supir. Si paling tampan dan si paling cantik. Jeongyeon mengakui kegantengan dan wajah rupawan Jeonghan yang kalau diibaratkan seperti manga versi nyata. Namun, sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat, sama sekali tidak merefleksikan kasta tertinggi ketampanannya.

Jeonghan itu ... angkuh.

Licik.

Sok kecakepan.

Manipulatif.

Suka berbuat curang.

Gemar meremehkan.

Sombong.

Pokoknya segala macam krisis moral rata-rata ada pada diri cowok itu. Nol besar.

Makanya waktu mengetahui penumpangnya kali ini si Jeonghan, rasa kaget, penasaran, malas, kalap, semuanya bercampur jadi satu. Kendati tetap saja, rasa benci paling mendominasi. Jeongyeon bahkan tidak segan melempari Jeonghan dengan kata 'sokab' dan bersikap judes.

Ah, Jeonghan mendorong paksa suasana hati Jeongyeon hingga jatuh ke posisi paling buruk.

"Gue sengaja pake jasa lo tau, Yeon."

"Nggak nanya," tangkas Jeongyeon dalam satu tarikan napas.

Terdengar dengusan dari arah kursi samping kemudi. "Lo nggak penasaran alasan apa yang bersembunyi di balik keputusan gue ini?"

Jeongyeon menatap Jeonghan intens, lalu menggeleng. "Bodo amat."

"Gue tau lo ngincer gue."

Satu sisi bibir Jeongyeon terangkat. Cowok di sampingnya ini betul-betul sok tahu segalanya macam dia yang paling mengerti seisi jagad. "Sori, gue nggak segabut itu buat menaruh hati ke modelan manusia berbisa kayak lo."

"Beda konteks," tukas Jeonghan, tubuhnya dicondongkan ke samping. "Jangan pura-pura bego, gue tau semua permainan detektif-detektif lo itu."

Pembuluh darah di leher Jeongyeon tampak tegang. Dia menelan ludahnya sendiri. Pernyataan Jeonghan barusan berhasil menarik seluruh sarafnya untuk bekerja lebih ekstra. Jeongyeon terpaku, netranya mendadak kosong. Kedua tangannya gemetar.

"Diem kan lo, haha." Jeonghan menyisir surai berantakannya ke belakang. "Gue sadar setelah beberapa hari terakhir lo keliatan ngamatin gerak-gerik gue. Lo pikir gue ketipu? Nggak segampang itu. Emangnya lo dibayar berapa sama Seungcheol buat nyelidikin koper dia yang hilang? Cih, gue bahkan yakin isinya paling cuma cukup buat makan lima hari. Ngapain lo susah-susah bantuin dia dah?"

Jeongyeon semakin ketar-ketir. Fokusnya pada jalanan sangat terganggu. Dia menggigit bibir guna menyalurkan gugup, tetapi sia-sia. Peluru Jeonghan sudah lebih dulu menancap dan kendalinya telah sepenuhnya cowok itu genggam. Kalau sampai Jeonghan menyebar identitasnya, Jeongyeon ti--

"Takut identitas lo sebagai detektif ilegal kesebar ya? Terus mendekam di penjara? Makanya dari tadi diajak ngobrol bukannya jawab malah keliatan lebih pucet."

Kriettttt

Jeongyeon mengerem mobil mendadak. Jemarinya menyatu erat pada steering wheel. Betapa ketar-ketir tampak kentara di wajah putih itu. "Apa mau lo?" tanya Jeongyeon dingin masih menatap kosong ke arah jalanan. Ada getaran ketakutan yang timbul dari suaranya.

"Gue nggak akan buka mulut soal identitas lo dan temen-temen lo, tenang aja."

"JAWAB! APA MAU LO?!" bentak Jeongyeon, kini memberanikan diri menatap lawan bicara. Mukanya merah padam menahan amarah.

"Santai-santai, nggak usah ngegas gitu," tandas Jeonghan disertai senyum licik. Menatap ekspresi menyerah Jeongyeon memberi kebahagiaan tersendiri. "Tapi satu hal yang harus banget lo tahu, bukan gue pelakunya. Ngapain capek-capek nyuri padahal sama sekali nggak ada motivasi yang memberi gue keuntungan."

Persetan. Walaupun jika pernyataan Jeonghan itu fakta, Jeongyeon tetap ingin menghabisi muka tengil itu dengan tangannya sendiri. "Gue nggak mau basa-basi, cepetan jawab! Mau lo apa, anjing?!"

"Nggak sabaran banget lo ya." Jeonghan terkekeh songong. "Gue cuma butuh lima ratus juta kok, dikit banget kan?"

"LO GILA?!"

"Kalau lo sama temen-temen lo mau masuk penjara ya enggak ap-"

Plak!

Jeongyeon menampar pipi Jeonghan tanpa belas kasihan. Ekspresi Jeonghan lantas berubah pahit dengan senyum liciknya yang sulit dihilangkan. "Kasih gue waktu buat cari uangnya."

"Tiga hari, lebih dari itu gue bakal langsung kirim bukti kejahatan lo ke pihak hukum."

Jeongyeon serupa orang idiot jika berhadapan dengan Jeonghan.

Aurovagant | twice ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang