keping 19 • spekulasi dini

61 10 0
                                    

•••

"Kai tercatat sebagai penghuni kosan Seungcheol sejak dia SMA." Dahyun membalik lembaran kertas sambil terus membaca. "Itu berarti Kai dan Boss Mina udah nggak saling kontakan bahkan sebelum tim Aurovagant terbentuk. Atau justru jauh sebelum itu. Gue nggak tahu pasti karena belum nemu data konkret soal hubungan keluarga mereka."

"Seberapa lo yakin kalo mereka emang punya hubungan sedarah?" tanya Jeongyeon.

Dahyun termangu, satu sisi bibirnya ditarik horizontal. Berpasang-pasang mata mengarah padanya. Jihyo paling menanti dalih gadis berkulit putih itu untuk segera menjejalkan keterangan masuk akal pada setitik ruang kewarasannya. Jihyo menjadi anggota terdepresi, tertekan, ter-overthingking, akibat kelalaiannya sebagai anggota tim dengan keahlian membaca kode sandi tetapi dia gagal menerjemahkan maksud Boss Mina tentang surat utusan yang datang. Pun, dia merasa gagal menjadi pemimpin yang tanggap.

Jihyo, ah, bukan hanya Jihyo. Melainkan hampir seluruh anggota menganggap kasus kali ini hanya sesepele dan semudah sambil jalan tanpa perlu mengerahkan strategi muluk-muluk layaknya yang muncul dalam film-film detektif andal. Hanya berupa tindakan penyamaran, pendekatan diam-diam, mencari tahu alasan, menebak-nebak situasi, menemukan jalur dan pola, menyatukan pendapat, menarik kesimpulan, kemudian berhasil.

Bodoh.

Tzuyu melaknat dirinya sendiri karena selalu berpikir demikian. Jalan tim Aurovagant pada kasus ini akan mulus sampai tujuan. Perihal pencurian di indekos kalau dipikir-pikir secara rasional tidak lebih buruk daripada pengusutan pembunuh berantai, berlaga dengan kriminal papan atas, istilahnya dia dan kakak-kakaknya akan dijauhkan dari mandi darah, celaka, atau kematian.

"Seratus persen. Boss Mina aja sampai minta tolong ke kita buat turun tangan," jeda Dahyun bersitatap dengan Jihyo. "Dan mereka punya banyak kesamaan. Kalian pikir buat apa Boss Mina membentuk tim detektif ilegal kayak kita?"

"Buat apa?" Sana balik bertanya dengan tampang lugunya.

Dahyun mendengkus. "Ada yang nangkep pikiran gue?"

"Jangan bilang ... kita sengaja dibentuk karena emang buat kasus ini?" Jeongyeon tampak berandai-andai, mata cokelatnya bergerak menatap ketinggian tepatnya menghunus lukisan yang terpajang di salon Jihyo. Lukisan delapan naga. "Boss Mina membentuk kita buat nyelametin adiknya?"

"But, why? Ada apa dengan kosan itu? Apa yang bakal terjadi sama Kai atau Wonwoo atau siapalah itu kalau kita nggak segera nolongin dia?" Momo angkat suara. "Dan apa boleh kita diskusi cuma bertujuh gini? Gue selain khawatir sama kasus ini, perasaan gue nggak enak soal Kak Nayeon dan Chaeyoung."

"Ya, mereka nggak ada kabar dari tadi," balas Tzuyu, air mukanya juga menampilkan kecemasan serupa Momo. "Gue udah hubungi berkali-kali tapi nihil. Hapenya aktif tapi nggak diangkat. Dua-duanya gitu."

Nananananananaaa

Tepat saat tuturan Tzuyu menemui intonasi final, ponsel Jihyo yang berada di atas kulkas berbunyi nyaring. Jihyo segera bangkit untuk mengecek dan ...

ada panggilan berasal dari Nayeon.

"Halo?"

"Jihyo ...."

"Kak? Lo nggak apa-apa? Kok nangis? Are you okay? Lo di mana?" Pertanyaan beruntun Jihyo disertai ekspresi panik dengan mata melotot lantas mengundang atensi anggota lain.

"Joshua ... "

"Iya, Kak. Dia kenapa?" Jihyo semakin panik ketika nama salah satu tersangka disebut-sebut.

"Dia psikopat. Gue ... takut."

Tut .... Tut .... Tut ....

•••

Begitu pintu kamar terbuka dan menampilkan kondisi Nayeon yang super berantakan, Jihyo langsung berhambur memeluk tubuh ringkih gadis itu. Dapat Jeongyeon lihat ekspresi kakak tertuanya sangat ketakutan dengan bibir pucat dan sinar mata meredup. Seolah tidak ada asa di sana. Seluruh anggota tim kecuali Chaeyoung masuk ke dalam kamar indekos Nayeon yang berukuran kecil. Kedelapannya tidak tertampung sehingga harus duduk berdempetan di atas kasur dan sebagian lainnya di lantai. Momo yang bagian menutup pintu kamar merasa betapa pengapnya kondisi sekitar, bahkan kipas angin pun tidak menyala.

Dari hembusan napas Nayeon, Jihyo tahu gadis itu kesulitan berbicara. Sedikit informasi dari telepon yang mereka dapatkan mengenai Joshua saja sudah menghantam rasa penasaran, namun mereka tidak bisa asal meminta penjelasan Nayeon dengan terburu-buru.

Dari ujung mata Tzuyu yang berada tepat di samping kiri Nayeon, dia tahu bahwa ada sesuatu yang baru saja menimpa Nayeon. Entah apa, mengapa, siapa, bagaimana, dan segala kata tanya berkecamuk dalam pikir. Detik yang sama, Tzuyu semakin dilimbungi rasa takut, dia semakin sadar bahwa dirinya kini telah berada tepat satu senti di ambang jurang. Berbalik pun hanya ada hutan, berlaripun tidak ada jalan. Tzuyu merasa dikepung meski belum sepenuhnya menangkap benang merah yang melintang.

Nayeon masih menenangkan diri. Sana bahkan berulang kali menyodorkan sebotol air mineral yang dia bawa dari salon Jihyo, tetapi Nayeon selalu menggeleng tanpa minat.

"Maaf, gara-gara gue kalian bela-belain datang ke kosan kecil berantakan ini." Nayeon akhirnya bersuara. "Maaf juga, gue hampir seharian nggak ada kabar."

Anggota lain masih diam, menunggu kalimat-kalimat lain yang mengarus dari bibir pucat Nayeon.

"Gue sengaja ngikutin salah satu target gue tadi pagi, dan apa yang gue temuin bener-bener bikin gue shock."

Target gue, Nayeon sengaja tidak menyebutkan nama targetnya karena dia tidak tahu apakah lingkungan kosannya ini aman. Tetapi baik, Jeongyeon, Momo, Sana, Jihyo, Dahyun, dan Tzuyu mengerti kalau orang yang dimaksud adalah Joshua atau Hong Jisoo.

"Ternyata dia." Nayeon menghembuskan napas pelan. "Yaa ... seperti yang gue bilang lewat telepon tadi. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri gimana dia menghabisi anjing tak berdosa dengan keji. Tanpa takut. Dia justru melayangkan senyuman iblis."

Mendengar penjelasan itu, seluruh anggota tergugu.

"Gue nggak bisa berpikir jernih dan langsung kabur detik itu juga. Gue nggak tahu apakah dia udah dapetin jejak gue, atau gimana, gue kehilangan akal. Gue pokoknya lari kenceng sampai kosan sini. Nggak berani buka pintu kamar, seolah-olah kalo gue buka, dia udah nunggu di depan dengan tatapan haus darah. Gue parno, takut, overthinking. Dia bener-bener berbahaya."

Nayeon dan anggota tim memang telah menangani banyak kasus pembunuhan, tetapi mereka hanya sebatas memecahkan teka-teki atau berhadapan dengan si pembuat dosa. Namun, jika langsung terjun ke peristiwa atau menyaksikan dengan mata telanjang prosesi pembunuhan, mereka belum pernah dan sebisa mungkin menghindari itu. Jeongyeon tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi padanya. Momo pasti akan kuwalahan menghadapi traumanya. Sana mungkin akan hengkang menjadi detektif. Jihyo, dia yang paling hilang kewarasan. Dahyun, entahlah, mungkin dia hanya akan melunak. Tzuyu, dia memutuskan untuk menjadi siswa biasa saja.

"Dia membunuh anjing itu dengan keji, diperhitungkan setiap goresannya. Tanpa ampun. Mutilasi habis-habisan. Gue bahkan nggak tahu sedang berhadapan dengan siapa," tambah Nayeon, dia mengusap kasar wajahnya sebagai bentuk pengalihan dari bayang-bayang adegan tadi pagi. "Gue emang nggak bisa memastikan apakah dia juga melakukan hal serupa kepada manusia, tapi perasaan gue nggak enak. Entah dalih dari mana, gue yakin dia emang psikopat."

"Gue jadi menyimpulkan sesuatu." Dahyun menjadi yang pertama menyikapi perkataan Nayeon. "Gimana kalau ternyata ini yang dimaksud Boss?"

Nayeon mengerutkan kening. "Maksudnya?" Dia dan seluruh anggota tim bergantian temu pandang. "Ada yang gue nggak tahu?"

"Gue punya spekulasi dini, tapi pembahasannya jangan di sini. Kita nggak tahu, ....





























































































































" ... siapa yang saat ini sedang mengintai."

Aurovagant | twice ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang