keping 11 • spekulasi

96 18 3
                                    

Sebagai penggiat seni, Chaeyoung termasuk tipe orang yang hobi berkelana. Mencari ide dari timur, utara, barat, selatan, lalu kembali lagi ke timur. Relasinya luas. Dia sudah bertemu berbagai macam manusia dan hafal luar kepala karakter mereka. Nyeni tak hanya membawa raga, melainkan juga menajamkan intuisinya. Termasuk, menerka-nerka gelagat aneh cowok berkemeja hitam yang kini tampak gugup di hadapannya sembari mengusap tepian gelas plastik berisikan kopi panas.

Chaeyoung tidak menyiakan kesempatan. Gadis itu mengambil kamera lawas yang senantiasa menggantung di lehernya, kemudian siap membidik menggunakan satu tangan sambil tersenyum miring.

Cekrek

"Lo ngapain sih?" protes Chan, alisnya mengerut heran.

"Abis muka lo gitu amat," balas Chaeyoung tertawa. "Kayak orang ketahuan maling duren."

"Kita nggak saling kenal, ya. Tapi lo udah melanggar privasi gue." Chan mencibir.

"Emang iya?"

"Pertama, lo minta gue ketemuan di sini malem-malem. Di jembatan sepi lokasi elit orang-orang bunuh diri. Terus apa nih, mural nggak jelas," cerocos Chan seraya memperhatikan gambar-gambar di dinding sekitar, lambang seksualitas membuatnya bergidik jijik. "Kedua, lo ambil foto gue tanpa izin. Nggak usah sok akrab, deh. Minimal kasih tahu gue dulu tujuan lo ngajak ketemu tuh apaan."

Chaeyoung terdiam sejenak, tetapi bibirnya tidak berhenti tersenyum miring. "Lagian lo mau-mau aja diajak ketemuan sama gue, padahal nggak kenal. Kenapa? Apa karena foto profil gue cantik? Atau jangan-jangan ... lo ada bisnis ilegal yang menuntut lo dateng tiap kali ada panggilan rahasia dari orang yang bahkan nggak lo kenal?"

Bibir Chan sontak memucat, kelopak netranya mengerjap cepat. Pergerakan khas orang gugup itu berhasil ditangkap Chaeyoung yang membuat gadis itu semakin merasa menang.

Target berhasil terperangkap.

Oh ya, Chaeyoung mendapat kontak Chan dari grup obrolan komunitas nyeni se-Kota raya. Tanpa menunggu ba-bi-bu, gadis itu lantas tancap gas mengajak pemuda asing itu bertemu di markas mural yang letaknya di pinggir kota.

"Gue lagi nggak mau bahas masalah dan dosa-dosa lo kok, santai," pekau Chaeyoung, kakinya menepuk-nepuk besi tepi jembatan sehingga menimbulkan suara mencekam. "Gue cuma mau lo jujur atas pertanyaan-pertanyaan gue."

"Ma-maksudnya?"

"Oh, iya, sebelumnya kenalin, nama gue Chaeyoung. Lo?"

Tampang Chan masih kelihatan super gugup seolah di sampingnya kini tengah berdiri harimau betina lapar yang siap menerkamnya hidup-hidup. "Chan."

"Salam kenal, Chan. Gue detektif yang menangani kasus koper hilang, kasusnya pemilik kos lo. Gue mau ngulik masalah itu, dan gue harap lo bisa diajak kompromi."

Chan tergugu, tetapi tiga detik setelahnya dia mengangguk. Urat lehernya yang mula tegang serta kening yang mula berkerut jauh lebih dikondisikan. Sepertinya dia tahu ke mana arah pembicaraan gadis detektif garang ini menuju.

"Sumpah, bukan gue pelakunya."

"Bukti?"

Sejenak, Chan terdiam lagi. "Gue memang di kos dalam kurun waktu koper itu hilang. Tapi serius, bahkan dua rius, gue berani sumpah kalau bukan gue pelakunya. Sebejat-bejatnya gue jadi manusia, gue nggak akan tega ambil barang milik Kak Seungcheol, orang yang udah mau nampung gue di saat hidup sebatang kara, di saat gue bingung tinggal di mana, uang nggak punya."

Chaeyoung berusaha menelisik sorot mata Chan. Melalui intuisinya, tidak sedikit pun sukmanya menangkap kedustaan. Chan jujur, Chaeyoung yakin Chan memang bukan pelakunya. Namun, bukti wicara saja tidak akan cukup apabila menyangkut hukum. "Siapa yang lo curigai?"

Chan menggeleng. "Gue nggak tahu, tapi gue yakin pelakunya juga anggota kosan."

"Satu nama," paksa Chaeyoung. "Sebut."

"Joshua."

"Why?" tanya Chaeyoung, tubuhnya sedikit dimiringkan agar benar-benar menghadap Chan. "Apa rahasia dia yang nggak banyak orang tahu?"

Chan menggeleng. "Sori, gue belum bisa kasih tahu sekarang. Terlepas nanti kita bakal ketemu lagi atau nggak. Janji ya janji, harus gue tepati. Tapi yang pasti, Joshua bukan orang baik. Dia licik, dia manipulatif, untuk itu gue curiga sama gerak-gerik dia."

"Dia di mana waktu koper itu hilang?" tanya Chaeyoung lagi, dia bisa memahami perjanjian yang Chan buat dengan Joshua, terlepas dari bagaimana bentuk yang menyangkut perjanjian itu.

"Ada di kos," balas Chan lekas. "Hmm, tapi sebenernya ada satu rahasia semu yang bikin gue cukup puter otak terhadap case ini."

Kedua alis Chaeyoung sedikit terangkat, manik matanya menelisik air muka Chan. Mereka berada dalam kubangan kebingungan yang sama. "Puter otak?"

"Kalo boleh jujur, dibanding Joshua, gue lebih curiga sama Kak Seungcheol. Gue tahu dia orang baik, tapi in bener-bener nggak masuk akal. Gue denger dari Jeonghan dan gue kaget banget."

"Apa yang Jeonghan bilang?"

"Dia bilang ... " Chan menggantung ucapannya cukup lama. "Isi koper yang hilang itu bukan uang."

🧭🧭🧭

Gelas plastik berisi kopi panas yang tadinya dibawa Chaeyoung ketika berbincang dengan Chan sudah dingin dan hanya tersisa separuh. Obrolan tingkat tinggi dengan fakta-fakta baru yang masuk akal, tapi di sisi lain perlu digali lebih dalam itu membuat kepalanya berputar bak salah satu wahana permainan ekstrem. Kopi pun dilupakan. Keasyikan berpikir, mencari celah, menyambungkan benang merah, lalu ...  menghela napas panjang.

Helaan itu ditangkap indera pendengaran Myungho, sahabat Chaeyoung yang biasa dia ajak makan angkringan di tepi jalan. Pemuda tinggi berambut mullet yang Chaeyoung kenal melalui ajang awards berbau seni. Myungho menyabet satu piala dua tahun lalu, tepatnya kategori sebagai pelukis terbaik. Dan mulai saat itu, Chaeyoung mengaguminya. Dia berusaha mendekat, lalu mereka berhasil menjadi teman karib, meski intensitas pertemuan mereka jarang.

"Apa yang lo pikirin pertama kali setelah tahu gue termasuk salah satu orang yang harus lo curigai?" tanya Myungho, tatapannya teduh. Sungguh berbanding terbalik dengan suasana jalan raya tepi angkringan tempat mereka makan saat ini. "Gue yakin lo percaya gue nggak ngelakuin pencurian itu."

Chaeyoung mendengkus. "Pede banget."

"Masih ajaaa. Gengsi. Gue ngerti lo melebihi diri lo sendiri, Chae."

Satu kalimat muncul, kemudian menembus relung hati Chaeyoung. Rasanya seperti dielus perlahan, tetapi finalnya dibikin keretakan. Ya, Myungho lebih mengerti dirinya dibanding raga serta jiwanya sendiri. Fakta itu sungguh tiada bisa dielakkan.

"Pengetahuan lo tentang jawaban gue seharusnya nggak membuat lo bertanya-tanya, Ho," pungkas Chaeyoung. "Retoris."

"Gue cuma butuh validasi."

Chaeyoung menahan tawa, untung saja dia tidak berada dalam posisi minum. Kalau iya, pasti muka Myungho akan basah terkena semburan maut. "Kaya cewe aja lo."

"Oke, lo menang lagi. Tapi tetep aja, gue selalu yakin lo percaya sama gue." Myungho tertawa pelan. "Gimana perkembangan kasusnya? Ada yang perlu gue bantu?"

Chaeyoung mengangkat bahu. "Lo mau bantu, tapi gue buntu."

"Kenapa?"

"Chan bilang isi koper itu bukan uang."

Myungho terdiam sejenak. "Ada sesuatu yang lebih penting gitu maksud lo?"

Chaeyoung manggut-manggut. "Mungkin. Dan itu yang tengah gue pikirin sekarang, gue juga belum ada bukti kuat kalau isi koper itu beneran kaya yang dibilang Chan. Eh, ngomong-ngomong lo ... masih curiga sama Woozi?"

Myungho mengangguk. "Gue malah sekarang curiga bahwa ada komplotan."

"Maksud lo ... pelakunya lebih dari satu orang?"

Kepala Myungho tergerak naik turun, menyetujui alibi Chaeyoung.

Aurovagant | twice ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang