keping spesial (2)

65 12 0
                                    

•••

Tzuyu membolak-balik halaman demi halaman buku paket kimia. Sesekali dia menoleh ke kiri, memeriksa apakah bus kota sudah memunculkan diri. Ketika masih belum juga ada tanda-tanda, Tzuyu kembali fokus pada kegiatannya membaca. Bukan tanpa alasan gadis berambut panjang sepunggung tanpa poni itu keras belajar, besok akan diadakan ulangan harian kimia. Besok banget. Sedangkan kalau boleh jujur, materi kimia sungguh merepotkan. Lebih baik membantu mengedit video mukbang Momo dibanding mendengar penjelasan guru yang justru bikin mata Tzuyu ingin terpejam.

Baru saja akan membalik lembar berikutnya, tahu-tahu pipi kanan Tzuyu terasa dingin. Dia buru-buru menoleh saat ekor matanya menangkap sekaleng soda berwarna merah.

Ah, ternyata itu Mingyu.

"Minum dulu," kata Mingyu sembari menyodorkan sekaleng soda yang mulanya dia tempelkan ke pipi Tzuyu. "Gue emang gak pernah belajar, orang cuma lulusan SD. Tapi gue tau loh kalo kebanyakan mikir bikin kita pengen yang manis-manis."

Tzuyu menerima pemberian Mingyu sambil mengulum senyum. "Makasih."

"Sama-sama, cantik. Eh, tunggu. Biar gue bukain."

Cewek-cewek penggila cowok act of service pasti akan meronta-ronta jika diperlakulan semanis itu. Bahkan pop ice rasa mangga saja kalah manisnya dibanding tingkah romantis Mingyu. Ah, Tzuyu menganggapnya romantis sih. Entah Mingyu, apa cowok itu memang bermaksud meromantisasi suasana? Atau Tzuyu saja yang tipikal persona mudah baper?

Satu teguk soda sukses membasahi kerongkongan Tzuyu, terasa menyegarkan apalagi di tengah terik begini. Tzuyu merutuki diri sendiri saat dia telat mencurigai. Dia menoleh pada Mingyu, memperhatikan bagaimana ekspresi si manusia serupa tiang listrik itu. Lalu, Tzuyu bergeming untuk mewanti-wanti apakah tubuhnya bereaksi tidak wajar.

"Tenang aja, nggak gue kasih apa-apa," tutur Mingyu. Tzuyu yang ketahuan berpikir negatif itu tersenyum pongah. Dia biasa bergelut dengan manusia-manusia jahat, jadi kadang kala sikap selalu siaganya muncul sekalipun sebenarnya hatinya mengatakan bahwa Mingyu bukan bagian dari mereka. Cowok itu baik.

"Kak Mingyu mau?" Tzuyu sedikit mengangkat kaleng sodanya lebih dekat pada Mingyu.

"Enggak, lo aja."

"Ya udah." Tzuyu meneguk soda itu satu kali lagi. "Kak Mingyu kok bisa ada di sini?"

"Gabut."

"Enggak ke pasar?"

Mingyu menggeleng. "Pasar sepi, nggak ada yang bisa dipalak."

Ah, ternyata Mingyu masih mengharapkan profesi haram itu sebagai sumber pemasukan. Tzuyu jadi kecewa. Padahal sejak mengenal Mingyu, Tzuyu selalu berharap cowok itu hengkang dan mencari pekerjaan baru yang lebih baik. Namun setiap memikirkannya Tzuyu selalu tertampar, profesinya saja masuk ke ranah ilegal. Dia harus refleksi sebelum mengomentari orang lain. Benar kata Nayeon, hidup mereka sudah bukan untuk direncanakan.

"Jadwal kedatangan bus jam berapa? Masih lama?"

Tzuyu melirik arloji lilac yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Harusnya udah lewat dari tadi, tapi sampai sekarang belum keliatan."

"Mau nunggu aja? Atau gue temenin jalan kaki?"

Tzuyu menimbang-nimbang. Bus sekolahnya memang suka moodswing, lewat tidak lewat terserah supirnya. Mungkin disebabkan murid yang minat naik bus sekolah tidak banyak. Paling-paling hanya lima sampai sepuluh murid. Sering juga Tzuyu di-prank, tunggu sampai lewat sejam dari keberangkatan, ternyata memang busnya tidak beroperasi.

"Eungg, emang nggak ngerepotin Kak?"

"Enggak, kan gue gabut."

Benar juga, Mingyu mengaku tidak ada kegiatan. "Ya udah deh, jalan aja."

"Oke, yuk."

Akhirnya mereka jalan bersisihan mengikuti jalur trotoar. Percakapan yang terjalin ala kadarnya. Tzuyu asyik menceritakan kegiatannya akhir-akhir ini karena Mingyu bertanya, sedangkan Mingyu terlalu nyaman hanya sebagai pendengar. Sampai pada satu pertanyaan Mingyu yang sukses memorak-porandakan seisi pikiran Tzuyu.

"Lo mau jadi pacar gue?"

Tubuh Tzuyu mematung, langkahnya mendadak berhenti seolah pemilik dunia sedang bosan dan ingin menekan tombol pause . "H-hah?"

Ekspresi terkejut Tzuyu menjadi santapan renyah untuk Mingyu. Bagaimana bisa ekspresi selucu itu berhasil membuat perutnya kenyang bahkan seperti dikocok-kocok gerombolan kupu-kupu. Jemari Mingyu tergerak naik ke puncak kepala Tzuyu, mengacak surai lembut itu dengan gemas. Mingyu tersenyum manis sekali.

"Andai gue bisa percaya diri nanya itu ke lo, Tzuyu. Sayangnya buat sekarang belum bisa. Gue mana sebanding sih sama lo. Setiap kali gue mau nembak lo, rasanya tuh gue perlu beli kaca dulu minimal sehari sekali. Supaya gue bisa ngaca, kalo cowok kayak gue nggak pantes jadian sama lo."

Pernyataan samar-samar Mingyu membuat Tzuyu kesulitan menelan ludahnya sendiri. Bukankah maksud Mingyu, cowok itu ada rasa? Rasa merah jambu yang biasa orang-orang sebut cinta?

Mingyu cinta sama dia?

"Nggak usah dipikirin yang tadi, Tzuyu. Anggap aja gue ngelantur."

Mana bisa, Kak. Gue terlanjur bawa perasaan sampai dasar hati!

"I-iya, Kak. Santai aja."

Mereka kembali melajukan langkah dalam keheningan. Tidak ada satupun yang bicara. Tzuyu masih stuck dengan tanda tanya mengenai pertanyaan yang entah mengapa serasa nyata kalau dia baru saja ditembak. Sedangkan Mingyu memikirkan banyak hal, ada kali sekitar sepuluh rute jalur yang harus dia pikirkan, termasuk pekerjaan dan Tzuyu.

Saat berbelok ke gang yang mengarah ke rumah Tzuyu, suara lonceng penjaja es krim terdengar memanggil-manggil. Di tangan gadis itu masih ada soda pemberian Mingyu yang tersisa setengah, sedangkah lidahnya serakah ingin mencicipi es krim juga. Tzuyu hanya memperhatikan ketika sepeda penjaja itu melewati mereka.

Mingyu menyadari perubahan ekspresi Tzuyu, cowok itu terlahir cukup peka. Tzuyu pasti menginginkan es krim itu tapi Mingyu berusaha cuek. Dia membuang muka ke arah lain dan menemukan banyak tanaman bunga liar. Sambil melangkah, Mingyu memetik satu demi satu bunga dengan tangkai mencapai sepuluh senti, kemudian dia lilitkan menjadi gelang yang indah.

"Buat lo."

Mingyu meraih tangan Tzuyu, lalu memasangkan gelang itu pada pergelangan tangannya. Meski berujung layu entah nanti atau besok pagi, Mingyu dengan jantan tetap mempersembahkan buah karyanya itu. Sedangkan Tzuyu tidak mungkin diam, pipinya saja sudah merona.

"Ma-makasih."

Mingyu mengangguk. Hanya itu yang bisa dia berikan sebagai pengalih perhatian Tzuyu pada es krim yang kini sudah menjauh. Bukannya dia pelit, bukan. Rasa ingin memenuhi keinginan Tzuyu tentu ada, malah bercokol dalam dan meraung-raung minta disegerakan. Tapi, dia bisa apa?

Mingyu tidak punya uang sama sekali, uang terakhirnya sudah habis untuk sekaleng soda yang dia berikan pada Tzuyu.

Mingyu merasa benar-benar tidak berguna.

Aurovagant | twice ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang