Tiga Minggu sebelum Ramadhan, Randa menjemput Rangga di pondok pesantren, untuk kemudian pulang bersama.
Randa yang menunggu Rangga di mobil terhenyak kaget ketika Rangga tanpa salam langsung masuk ke dalam mobil.
"Kebiasaan ngagetin orang," ketus Randa sambil mengelus dada.
Rangga hanya menyengir kuda, kemudian mengajak Randa untuk segera melajukan mobilnya.
Berhenti di warung makan untuk mengisi cacing-cacing yang sudah bernyanyi riang, Randa dibuat melongo dengan diri Rangga yang ada di hadapannya.
"Lo ... kenapa makin kinclong?" tanya Randa penasaran.
Rangga mendekatkan wajahnya ke telinga Randa.
"Gue rajin luluran, Bang!" bisik Rangga.
Randa refleks manjauh dan mengucap istighfar beberapa kali.
"Gini, nih waktu dikandungan dulu ngarepnya anak cewe, sekali lahir cowok malah jadinya kemayu!" cetus Randa, terheran-heran dengan sikap adiknya yang terkadang terlihat sedikit feminin.
"Ya,'kan kalau kita ngarepin punya cewe yang glowing, diri sendiri musti glowing juga, dong, Bang! Sama, nih konsepnya kalau kita ngarepin jodoh yang baik, diri sendiri juga harus baik dulu. Kan jodoh itu cerminan diri. Dan sebagai laki-laki yang ga mau egois dengan hanya menginginkan perempuan cantik berseri-seri namun diri sendiri masih burik, maka dari itu gue juga harus kinclongin diri dulu. Dan salah satu usahanya, ya rajin luluran ini," jelas Rangga panjang lebar. Randa dibuat semakin melongo dengan ucapan adiknya itu.
"Bijak sama anehnya seimbang, ya, Bund!" ucap Randa setelah mengangguk mengiyakan saja ucapan adiknya itu.
****
Sudah menjadi lumrah, jika ulangan yang menyangkut rumus hitung-hitungan, diperbolehkan membawa kalkulator.
Seperti saat ini, kelas dua belas IPA tiga akan mengadakan ulangan harian Kimia. Namun, saat kertas ulangan sudah hampir dibagikan, Satria dan Ardan baru teringat bahwa kalkulator mereka tertinggal di rumah.
Ardan meminta izin kepada Bu Risma untuk meminjam kalkulator di kelas sebelah. Dan Satria pun melakukan hal yang sama.
Mereka berdua keluar, menuju kelas dua belas IPS dua. Kebetulan sedang ada jamkos, jadi mereka langsung masuk dan mencari jiwa yang bersedia meminjamkan mereka kalkulator.
Ardan telah mendapatkan kalkulator dari Vani, kemudian menghampiri Satria yang masih sibuk mencari.
"Belum dapet?" tanya Ardan.
Satria menggeleng, "Mereka ga ada pelajaran yang harus bawa kalkulator katanya," jawab Satria.
Satria lalu melihat Eka yang sedang sibuk membenarkan tuspin hijab.
Satria mendekat lalu memanggil Eka.
"Ek! Bawa kalkulator ga?"
Eka menoleh lalu menghentikan aktivitasnya. Merogoh laci meja lalu menemukan benda yang dicari. Sebuah kalkulator berwarna biru dan langsung disodorkan ke Satria.
"Mantep, Ek! Thanks, ya, Ek!" ucap Satria sambil tersenyum puas.
Eka mendengkus. "Ak ek ak ek. Lo pikir gue eek kambing?" cetus Eka tak terima.
"Hmm mirip, sih. Bau wedus," lirih Satria.
"HAH? APA LO BILANG TADI?" teriak Eka.
"Engga Ek, eh Ka, engga kok. Bercanda kali," jawab Satria kikuk sembari menggaruk tengkuknya.
"Pantesan aja Naura ga dapet-dapet. Orang lo nyebelin kayak monyet!" seloroh Eka lalu memalingkan wajahnya.
Satria yang mendengar itu menatap Eka tajam sambil sesekali mengucap taawuz, seakan Eka adalah jin kafir yang musti dimusnahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mustika (With You In Jannah)
Teen FictionSpiritual-Comedy Arumi tak pernah menyangka, pertemuannya kembali dengan kakak kelas sewaktu SMA akan menjadi awal kisah perjalanan cintanya. Terlebih, sudah terpaut dua tahun ia tak pernah lagi bertemu dengan laki-laki bermata teduh itu. Sedangkan...