Perihal perpisahan mandiri itu, semua sepakat untuk melaksanakannya di pantai seusai ujian selesai. Hari ini, ujian berakhir pukul sepuluh pagi.
Sebelum pulang semua siswa dikumpulkan di lapangan untuk diberikan sepatah dua patah kata dari kepala sekolah.
"Ini bukan akhir, tapi sebuah awal untuk kalian semua. Setelah lulus nanti, jangan lupakan untuk kembali ke sekolah ini membawa kabar keberhasilan. Karena, kami semua menunggu kabar itu dari ananda dan adinda semua. Harap-harap semuanya dapat menjadi orang berhasil yang tak hanya membawa nama harum SMA Delima ini, namun juga keluarga, agama, serta negara. Kami sangat yakin, kalian mampu untuk itu," ucap Pak Hasyim dengan tegas, namun terdengar sendu.
"Saya akui, masih banyak kekurangan dalam mengayomi kalian semua di sekolah ini. Tapi, saya harap, ilmu dan wawasan yang kalian petik dari sini, akan kalian gunakan dengan sebaik mungkin," sambungnya lalu melanjutkan beberapa kata lagi dan menutupnya dengan salam.
Usai itu, semua siswa dan siswi SMA Delima dipulangkan dengan berbaris rapi, menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan.
Saat telah sampai di dekat parkiran, Arumi membalikkan badannya hingga bisa menghadap belakang. Memandang kembali sekolahnya itu dengan sendu.
Setiap sisi dari bangunan besar itu adalah saksi di mana rajutan kisahnya diukir. Perpustakaan, yang setiap hari berkenan memberinya tempat untuk menggali cerita dari buku-buku fiksi dan non fiksi.
Lapangan besar di mana ia dulu pertama kali menginjakkan kakinya untuk melaksanakan MOS. Kantin yang mana selalu memberikan kepuasan lambung dan tenggorokan, Mushola, tempat bersimpuh kala bagaskara berada tepat di atas kepala, bangunan itu begitu penting, menjadi tempat pulang ketika pikiran dan hati cukup ruyam untuk dijelaskan.
Laboratorium kimia, laboratorium biologi, laboratorium fisika, pendopo, ruangan berganti pakaian, toilet, kantor majelis guru, dan tentunya ruangan kelasnya.
Waktu selama tiga tahun yang Arumi lewati di sekolah ini adalah salah satu momen paling berharga dalam hidupnya.
Di sini, Arumi mengenal ketiga sahabatnya, mempertemukannya dengan hidayah untuk memperbaiki diri itu. Dari sini, Arumi banyak belajar mengenai solidaritas, kebudayaan, wawasan dan kekeluargaan.
SMA, adalah sekolah paling berkesan. Banyak cerita hiruk pikuk yang telah tertata, kemudian kini terpatri apik dalam ingatan. Dulunya, Arumi pikir SMA adalah sebuah penjara baru baginya.
Serentetan tugas yang tiada ujung, juga peraturan yang memaksa. Belum lagi setumpuk materi yang begitu sulit pun di rangkai dalam masa putih abu-abu ini.
Namun nyatanya, itu tidak semengerikan yang Arumi pikir. Ternyata, SMA itu menyenangkan. Suka, duka, tangis dan tawa itu dapat menyatu padu. Dengan kemudian membentuk rajutan kasih yang indah.
"Selamat tinggal. Aku akan kembali dengan membawa kabar keberhasilanku nanti," lirihnya, kemudian melangkah pergi.
Berat rasanya. Waktu tiga tahun itu sebenarnya tidak sepenuhnya genap karna dipotong sepuluh bulan belajar dari rumah akibat pandemi itu. Namun, tidak ada gunanya meratapi yang telah lalu. Karena ada banyak hal baru juga yang telah Arumi dapatkan hanya dari belajar di rumah. Kemampuannya dalam mengasah skil menulis juga ia peroleh dari banyak komunitas Literasi. Yang mana, tidak akan ada dan ikuti ketika pandemi itu tidak pernah ada.
Dibalik setiap musibah, akan ada hikmah tersembunyi. Cukup menerima dengan sabar dan ikhlas, dan menjalaninya dengan sepenuh hati, maka kita akan sampai pada suatu titik lega dan bahagia.
Hanya manusia biasa yang tak mampu merubah terangnya baskara, atau menjadikan purnama menghilang begitu saja. Kita, dilahirkan untuk mengabdi pada-Nya. Untuk beribadah, bersimpuh dan bersujud di hadapan ilahi.
Sang penulis skenario itu tau mana jalan yang terbaik untuk hambanya. Tugas kita hanya menerima dan percaya.
Sepeda motor Arumi melewati gerbang sekolah dengan kemudian menuju jalan raya. Arumi sekali lagi menoleh pada sekolahnya itu.
Sekelebat ingatan tiga tahun lalu itu sekarang berputar.
Lingkaran waktu membawanya menerobos lorong-lorong kenangan yang tiada pernah terlupa.Tiga tahun lalu, Arumi datang pagi-pagi sekali. Pukul enam lewat sepuluh menit, ia telah sampai di sekolah dengan seragam putih abu-abunya. Sekolah masih sangat sepi, tapi gerbang telah dibuka oleh satpam yang menjaga.
Gadis dengan hijab ukuran standar itu celingukan mencari teman kelas MOS-nya. Barang kali sudah ada seseorang yang juga datang. Namun sayang beribu sayang, gadis ayu itu datang terlalu pagi hingga belum menemukan satupun teman seangkatannya yang hadir.
Arumi memilih menunggu di atas sepeda motor sendiri. Tak lama berselang, dua orang dengan seragam yang sama dengannya itu datang. Kirana dan Naura, begitu Arumi mengenal dari perkenalan singkat mereka.
Dengan riang, Arumi bersama kedua teman barunya yang tak disangka akan menjadi sahabat itu melangkah mantap menuju kelas.
Sebelum menapaki ruang kelas, Arumi melihat keseluruhan sekolah barunya itu dengan tersenyum. Sebuah harapan baik ia titipkan di pagi yang cerah itu. Semoga tiga tahun yang akan dilewati nanti membawa banyak perubahan baik bagi dirinya. Semoga, apa-apa yang tak bisa ia capai dalam kurun waktu sebelumnya, mampu menghantarkannya pada sebuah kata bernama 'bisa'. Dan semoga, SMA ini adalah jalan baru untuk menuju ruang sukses masa depannya.
Banyak semoga yang Arumi langitkan waktu itu. Dan banyak harapan serta impian yang telah ia rajut sedari dulu.
Bumi berputar pada porosnya, tak terasa, jangka waktu tiga tahun itu telah sampai pada titik akhir di mana dirinya akan lulus. Padahal, seperti baru kemarin ia menjadi siswi baru di SMA Delima. Seakan baru kemarin ia berkenalan dengan siswi bercadar yang tak lain adalah Fatma. Dan rasanya baru kemarin ia merasa masih malu-malu bertegur sapa dengan teman barunya.
Rasanya, formulir pendaftaran masuk SMA itu baru ia bubuhkan tanda tangan belum lama. Tapi sekarang, bahkan ujian akhir sudah lancar terlaksana. Semua kenangan yang terajut juga sudah selesai disulam.
Arumi telah sampai pada ujung tombak perjalanannya. Namun, ini bukan sebuah akhir, melainkan langkah baru untuk menempa diri lebih keras lagi.
Setelah ini, akan ada pintu-pintu baru yang harus ia buka. Sebuah jalan yang akan menghantarkannya menuju pendewasaan yang sebenarnya.
Menghela napas panjang, Arumi menatap sekali lagi sekolahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia pun melajukan sepeda motornya dan meninggalkan bangunan berjuta kenangan itu dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia dan sedih yang telah menyatu.
Dilain sisi, Randa yang baru saja selesai melakukan kuliah online itu juga menghela napas panjang. Ia menatap nanar laptopnya yang terbuka lalu memilih menutup bolpoin dan buku untuk kemudian bergegas keluar kamar.
Lelaki yang sudah lulus dua tahun lalu dari SMA yang sama dengan Arumi tempati itu, kini memilih mencari tempat untuk menyegarkan pikirannya yang awut-awutan karena setumpuk tugas dari dosen.
Jemarinya menyisir rambut lebatnya dengan pelan, kemudian membuang napas kasar lalu terpejam sesaat, mencoba mengurai kusut yang berkelindan dalam pikirannya.
Seketika, Randa merindukan masa putih abu-abunya dulu. Di mana ia masih bisa bersantai meskipun tugas begitu banyak dari guru. Masih bisa tertawa haha hihi dengan lepas walaupun terkena razia dadakan dari BP. Dan masih bisa mengabaikan materi dengan sesekali tertidur saat pelajaran.
Masa SMA yang ia jalani dengan serius namun tidak berambisi kuat itu, nyatanya telah tertinggal jauh di belakang sana. Kini, hanya kenangannya saja yang terbawa.
Randa telah banyak memberikan piala penghargaan untuk SMAnya, juga menuai banyak pujian dari para guru. Memiliki banyak teman yang menyukai, tubuh atletis dan wajah yang rupawan, belum lagi terkenal akan wibawa dan kebijaksanaannya, menjadikan Randa The most wanted Boy di SMA Delima pada masanya.
Lelaki bertubuh tinggi itu sekali lagi menghela napas panjang. Kuliah yang kelihatannya menyenangkan, ternyata tak lebih indah dari masa putih abu-abu yang telah terlalui.
"Apa kabar SMA?"
****
Aku rindu masa itu.
Bagaimana dengan kalian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mustika (With You In Jannah)
Teen FictionSpiritual-Comedy Arumi tak pernah menyangka, pertemuannya kembali dengan kakak kelas sewaktu SMA akan menjadi awal kisah perjalanan cintanya. Terlebih, sudah terpaut dua tahun ia tak pernah lagi bertemu dengan laki-laki bermata teduh itu. Sedangkan...