Chapter 21

40 12 15
                                    

Tentang akhir cerita ini?
-
-
-

Ini harinya, serasa aku terkena serangan panik sekarang. Kami berdua sudah setengah jalan menapaki trotoar menuju rumah Hendra dan tiap detiknya pikiranku terisi hal kesumat.

"Kau tidak gugup?" Tanyaku, untuk kali ketiga setelah turun dari bus tadi.

"Gugup karena?" Yoda balas bertanya.

"Aku rasa pembicaraan kalian nanti tidak akan mulus." Sahutku bimbang.

"Malah akan mengherankan jika aku dimaafkan begitu saja bukan?"

Bola mataku berputar, Yoda dan jawaban istimewanya. "Yah aku tahu, bukan berarti juga aku berharap hasilnya kamu di usir secara tak manusiawi atau yang lebih parah terluka karena di lempar kursi santai yang di ada di teras rumah."

Yoda mencondongkan wajahnya padaku tiba-tiba dan sontak menghentikan kakiku melangkah, tubuhku pun secara sepontan melenkung kebelakang.

"Itu musthail terjadi. Pamanmu orang berpendidikan dan dia pengusaha yang tahu berpikir dengan tenang. Jadi, berhenti membayangkan hal yang ekstrim." Ujarnya di susul dengan senyum lebarnya.

Aku berkedip, berkali-kali dan berdeham keras. Ya ampun, tingkahnya pun tidak berubah tenyata, masih hebat mengejutkanku.

"Kau...hmm kamu..."

"Kamu baru sadar dari tadi menyebut kau padaku?"

"Apa?"

Dia tidak menanggapi kelimpunganku lagi, hanya masih tersenyum sambil melangkah kembali dengan menggandeng tanganku.

....

Bergantian, aku menatap Yoda dan Hendra. Sudah 10 menit, mulai dari membukakan pintu dan melihat yang datang adalah aku dengan membawa Yoda, pamanku ini hanya menatap datar. Sungguh reaksi yang lebih parah di banding pikiran ekstrim yang di maksud Yoda.

Dan tiba-tiba Hendra berdiri. "Masih sangat banyak dokumen menumpuk di ruang kerja. Saya harus segera menyelesaikannya."

Dan setelah mengucapkan itu, dia melangkah pergi. Aku melirik Yoda dengan kecewa dan bergegas berdiri mengejar paman.

Masih berapa langkah Hendra sampai pintu ruang kerjanya dan aku menghadangnya. "Paman ayolah, aku dan Yoda sudah menyelesaikan masalah kami, bisakah paman memberi dia kesempatan?"

Tatapan datar Hendra tadi sudah menghilang berganti memandangiku dengan mata yang menyorot lelah. Dia menghela napas dan tangannya naik mengusap rambutku. "Saat paman membiarkanmu berpacaran dengannya dulu, paman sudah memberi dia kesempatan. Dia tidak menjaganya dan paman tidak harus memberinya lagi." Ujarnya

Aku menggeleng pelan. "Selama ini paman selalu mendukung untuk menemui dia, menyuruh Gelasia menyusulnya ke Indonesia. Tapi, dia sudah kembali, kenapa sekarang paman yang jadi dingin?"

"Tapi kamu juga jelas ingat jika kami selalu memaki namanya dan bertekat melakukan sesuatu jika bertemu dia lagi." Tiba-tiba suara Siranda menyela kami, entah sejak kapan dia yang tadinya ada di dapur sekarang berdiri beberapa meter dari tempatku dan paman bersitatap.

Aku meliriknya sebentar lalu menunduk dengan lemas. Langkah perempuan tersebut mendekat dan sama seperti suaminya dia mengusap rambutku dengan lembut "Sayangnya itu tidak bisa, kami bertemu dengannya lagi berkat kamu yang membawa dia kesini dengan maksud deperti ini. Tentu saja kamu melakukan itu karena menerima dia kembali."

Lagi, aku menatapnya dengan mata yang sudah berembun. "Bibi, aku tahu ini tidak masuk akal, tapi..."

Siranda meraih tanganku, meremasnya dengan pelan."Gelasia dengar, kami bisa memahaminya. Tapi bagaimana caranya menjelaskan ini pada ornag tuamu? Apa mereka mempercayakanmu pada kami hanya untuk hal ini? Jika tentang hal tersebut, berusahalah dulu agar dia menerima maaf dari orang tuamu dan setelahnya kamu tak harus bertanya pada kami, keputusan mereka sama juga dengan kami."

Aku menyembunyikan wajahku di pundak perempuan ini, menangis disana dengan isak yang kutahan. Ketika wajahku mendongak, aku menemukan Yoda disana, berdiri di ambang pintu ruang tamu dan lorong menuju ruang kerja ini. Tanpa harus memastikan, raut wajahnya menyiratkan dia mendengar pembicaran kami. Aku mengigit bibir dan sekali lagi menitihkan air mata.

"Saya akan berusaha.." Suara Yoda memecah kesunyian yang tadi mendadak melingkupi.

Hendra beralih menatapnya dengan tenang. Sepertinya dari tadi dia sadar Yoda berdiri disana. "Saya tahu kamu sadar itu bukan hanya perkataan, saya tak harus mengatakan akan menunggu buktinya. Itu tergantung padamu."

Yoda mengangguk dan kemudian membalas tatapan Hendra. "Maafkan saya." Ucapnya dengan suara yang sama tenangnya dengan pamanku, seolah dia juga sudah menebak, memamg akan seperti ini keadaannya.

Hendra menghela napas sebelum akhirnya dia melangkah melewatiku kemudian masuk ke dalam ruang kerjanya.

....

"Jangan menangis lagi." Yoda mengusap air mataku yang masih saja keluar, bahkan setelah meninggalkan rumah Hendra belasan menit lalu dan berakhir duduk bersama di cafe yang selalu kami datangi bersama dulu.

"Aku yang lelah dan sakit hati saat kau pergi, aku yang menangis hampir setiap hari. Kenapa yang lebih marah mereka? Harusnya itu aku." Ujarku tentu saja disertai isak tangisan.

Yoda  malah terkekeh, aku benar-benar kesal sekarang dan dia hanya bisa menertawakan.

"Kau senang dengan keadaan ini?" Sekarang? Disaat begini?!" Tanpa sadar aku meninggikan suaraku.

Yoda menghentikan tawanya dan dia memandangiku dengan mata menyorot penuh. "Mereka marah tapi tidak memintaku meninggalkanmu. Itu sudah berarti memberi kesempatan untukku."

Aku meraih tisu, menyeka air mata. "Kau mendengar apa yang Hendra dan istrinya katakan, optimisme milikmu tidak bisa mengubah apapun Yoda."

Dia mangguk-mangguk sambil mengerutkan bibirnya. "Aku hanya punya firasat dan memang aku harusnya berusaha lebih keras bukan?"

"Entahlah...terserah kau saja. Kau pikir aku menangis hanya karena kurang kerjaan selama 5 tahun lebih ini, jika aku percaya diri sepertimu aku tak harus melakukannya. Sial, berusaha melupakanmu saja sudah seperti mimpi buruk." Akhir kalimatku lagi-lagi bernada tinggi, belum lagi tangisanku tidak bisa berhenti.

Ekspresi Yoda langsung tak bisa terbaca, antara terkejut dan bingung  karena tangisan dan perkataan yang disertai umpatanku. Tapi kemudian dia menggeleng-geleng, dia yang duduk berhadapan denganku kemudian berpindah ke kursi disampingku lalu merangkulku ke dalam pelukannya.

"Kasar sekali." Ledeknya

Aku mendecak geram. "Kau cuma bisa berkomentar, tidak tahu saja sejak kau tersenyum padaku di kantin sekolah dulu aku sudah suka...eh tidak, tapi aku jatuh cinta padamu. Selama itu aku punya perasaan bodoh ini, apa menurutmu gampang di lepas? Enak saja, tentu saja tidak!" Dan aku masih tidak santai berbicara padanya.

Perlahan dia melpaskanku dari 0elukannya.

"Di kantin? Bagaimana?" Tanyanya dengan dahi berkerut.

Aku kembali mengambil selembar tisu dan memghapus air mataku, dan juga membersihkan bekas jejak tangisan yang menempel di baju Yoda.

"Kenapa? Kau pikir yang jatuh cinta duluan adalah dirimu? Tidak...aku yang pertma. Dimulai dari saat kamu meniru menu pesanananku lalu tersenyum padaku di kanti sekolah."

....

1 tahap lagi menuju akhir

Be Continue...

L•|2 🍀

Gelasia : AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang