Alasan rasa merindukan itu tak menyakitkan lagi
-
-
-
Jakarta, 2007
Aku tidak melepaskan mataku dari trofi yang kupegang sekarang, takjud sendiri dengan pencapaian yang selalu aku impikan.
Penghargaan untuk pelajar terbaik, adalah hal yang di inginkan semua siswa di sekolah, dan tahun ini aku mendapatkannya. Tidak percuma aku berusaha terlalu keras mematuhi semua aturan yang ada, meski dengan tingkat kepintaran seadanya tapi tak peduli, aku tetap terpilih jadi yang terbaik tahun ini.
Prang!!
Senyumanku hilang seketika, termanguh melihat pecahan yang ada dilantai sekarang, aku tak bisa percaya benda bertuliskan namaku itu-yang beberapa detik lalu bertengger indah di peganganku, pecah berkeping di lantai.
"Bagaimana ini..." Aku berjongkok ingin memungut pecahannya, namun sosok yang menabrak tadi menarik bahuku untuk kembali berdiri.
"Nanti kamu tertusuk pecahan itu." Katanya.
Aku tak terlalu memperhatikan dia dan hanya menatap nanar kelantai, air mata kemudian tak bisa kutahan lagi, hingga sesegukan aku menangis.
"Aku bodoh sekali, seharusnya kusimpan saja di kotak beledru yang mewah dan menaruhnya baik-baik di tas." Keluhku sambil menunjuk trofi yang tak lagi berbentuk itu. "Sekarang bagaimana? Sudah pecah, aku bahkan tidak bisa bermimpi mendapatkan penghargaan yang sama tahun depan." Cerocosku.
Dia menepuk-nepuk pundakku. "Tenanglah. Maaf, aku yang salah, aku yang menabrakmu."
Aku masih sesegukan tapi mencoba menenangkan diri. "Tidak apa-apa, tadi aku juga tak memperhatikan jalan. Sepertinya aku harus buat trofi yang baru saja." Dan dengan cepat, kutepuk keningku. "Siapa yang membuat trofi untuk dirinya sendiri? Tololnya kau Gelasia Mindelafel." Gerutuku.
Aku mengelap wajahku meski air mata tetap saja jatuh membasahi. "Kau tidak usah memikirkan ini, aku hanya perlu menangisinya dan baik-baik saja setelah itu."
"Kamu pasti sangat bekerja keras untuk mendapatkan penghargaan ini." Dia menimpali.
Aku menghela napas "Hmm...bekerja keras untuk akhir mengenaskan." Dan kembali kulihat ke pecahan piala penghargaan itu.
Kemudian mataku beralih menatapnya, dan baru sadar dari tadi aku sedang berhadapan dengan sosoknya.
Dia yang ada dihatiku setahun belakangan.
"Giandra Yoda..." suaraku mendesis tanpa sadar.
....
Aku memerlukan tempat yang lebih baik untuk bicara banyak hal pada Yoda, dan aku mengajaknya ke sebuah taman. Tapi, bahkan suasana tenang di taman yang kami tempati ini tidak sedikit pun mengurangi berbagai pikiranku, semua tanya berkumpul jadi satu dan sulit memilih yang mana untuk di dahulukan.
"Bukankah hanya sebatas satu kelas di semestar awal? Kau bilang ingat aku karena itu." Dan hanya pertanyaan ini yang kurasa mewakili semuanya.
"Dan aku tidak pernah bilang tak mengenali kamu sebelum itu." Tampak biasa dia menyahut.
Yoda, kenapa bisa kamu...
Ingatanku tentang dia sangat singkat, kejadiannya seolah hanya lewat sebentar di antara kami, di masa itu aku pernah bicara dengannya, dia pernah menepuk lembut bahuku, menenangkanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/241347569-288-k395832.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelasia : About
RomanceIn Her Freak Love Saat terburuk dalam hidupku mungkin tentang mengenalnya. Atau tidak juga, tidak ada cinta yang sama di dunia. Mungkin, aku kurang beruntung saja terjebak dengan satu pria aneh ini di London. Atau mungkin juga, aku terlalu beruntung...