Tentang bagian yang membuat sulit untuk di abaikan
-
-
-Aku langsung mengambil cuti sakit setelah meninggalkan kolega dan Derrel begitu saja dua hari lalu, mengurung diri di kamar sambil termangu merenungi pertemuan dengan Yoda. Dan lagi-lagi chat dari orang yang sama masuk ke daftar notifiaksi handphone sore ini, pesan-pesan itu terus menemaniku, atau mungkin...
Menggangguku. Entahlah.
Suara pintu kamar yang memang tak aku kunci dibuka, Derrel muncul disana dengan tangan menenteng paperbag. Dia juga salah satu sosok yang terus menganggu selama aku absen dari kantor-datang dengan alasan menjenguk.
"Bagaimana keadaanmu?" Dia langsung bertanya sambil menempelkan punggung tangannya di keningku. "Bagaimana jika kau ke rumah sakit, ambil rawat inap saja?" Dia menawarkan.
Aku mendecak lalu menepis tangannya pelan. "Aku sudah istirahat penuh, jangan dibesarkan, besok kembali kerja pun bisa." Omelku jengah.
"Seharusnya kau memang tak usah ikut pertemuan itu, aku mungkin sudah terlalu memaksa, maafkan aku."
Lebih baik Hendra tak membiarkan pria ini datang menjengukku di banding harus mendengar kalimat itu lagi, aku sudah bosan melihat wajahnya tertekut menampakkan raut menyesal.
Aku menghela napas. "Sudah kukatakan tak apa, aku tidak memikirkannya, keadaanku juga bukan karena itu, aku hanya kelelahan." Bahu kugerakkan dengan lincah, menunjukkan padanya bahwa aku memang sudah sangat sehat.
Dia malah tak merespon dan hanya mengambil duduk di ujung tempat tidur. "Kinerjamu meningkat sebulan ini, jika kau..."
"Derrel, jangan mulai lagi." Aku mengingatkan.
Pria di depanku ini segera meredam gebuan kata yang ingin dia ucapkan. Tanganya terkepal, detik berikutnya dia mengusap wajah.
"Kau sungguh sudah membaik?" Tanyanya.
Aku mengangguk dan dia langsung tersenyum tipis, tangannya kemudian sibuk mengeluarkan isi paperbag yang dia bawa.
"Treslin membuatnya untukmu, makanlah." Ucapnya sambil meletakkan cup berukuran besar berisi salad buah di pangkuanku.
"Jangan terlalu baik padaku Derrel." Ujarku dengan nada bercanda dan mulai menyendok salad buah tersebut.
Aku melirik, tanpa terduga aku malah melihat alisnyamenikut tajam. "Jika aku baik padamu, itu karena aku temanmu."
"Aku tidak ingin terbiasa." Sahutku sambil mengibaskan tangan ke udara.
Mulutnya berdecak keras menanggapi. "Tidak perlu terbiasa, terima saja. Setelah aku dan Treslin menikah, aku juga sibuk dengan kehidupan kami sendiri. Tapi tetap saja, sebagai teman, aku tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Bagiku, kau sama seperti..."
"Darsha dan Darla." Aku menyela, hal ini sudah terlalu sering aku dengar selama bertahun-tahun menjadi temannya. Aku menggeleng pelan. "Mereka saudarimu. Ini berbeda Derrel, aku hanya orang la..."
"Yang peduli padamu takkan pernah menyebutmu orang lain." Dia juga menyambar kalimatku yang belum selesai.
Mataku melihat dia dengan tatapan sayu, agak takut karena kalimatnya membuat hatiku berdetak cepat.
"Makanlah. Masalah yang ada, jika terlalu berat bukan berjuang yang membuatmu bertahan tapi makanan." Candanya di ikuti senyum khas miliknya.
"Terima kasih banyak." Ucapku.
Dia tampak terkejut tapi ekspresi itu segera berganti tatapan hangat, dia mengangguk. "Tidak apa-apa, kau cukup tak membuatku lebih bersedih dengan keadaan begini. Jika tidak, aku sungguh akan menemui pria itu dan memukulinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelasia : About
RomanceIn Her Freak Love Saat terburuk dalam hidupku mungkin tentang mengenalnya. Atau tidak juga, tidak ada cinta yang sama di dunia. Mungkin, aku kurang beruntung saja terjebak dengan satu pria aneh ini di London. Atau mungkin juga, aku terlalu beruntung...