Tentang hujan ; bukan kamu yang di sebut masa depan
-
-
-Aku terpekur di sliding door kamar, memandang menara big ben di kejauhan. Pikiranku melalangbuana, dipenuhi dengan ocehan tidak jelas anak kecil di taman sore tadi.
"Dia benar-benar mirip ayahnya, cara membicarakan hal bodoh pun sama." Mulutku kembali meracau untuk kesekian.
Aku meremas rambut dan menariknya keras, seharusnya ini tidak mengangguku terlalu jauh. Hidupku tak boleh menyetuh hal yang berkaitan dengan Yoda lagi, sudah cukup! yang di taman tadi, hanyalah kebetulan.
Dering handphone memecah keheningan di sekitar, aku menghela napas saat melihat nama Derrel tertera di layar.
"Hmm, ada apa Derrel?"
"Kau tidak apa-apa?"
Di seberang sana aku bisa membayangkan caranya mengatur nada suara yang agak hati-hati.
"Iya, tentu saja." Jawabku dengan suara rendah.
"Apa kau masih marah?"
"Marah karena?"
Hening, dia diam tak segera menjawab.
"Jika tak ada lagi yang ingin kau bicarakan akan aku tutup telponnya." Aku menjauhkan handphone dari telingaku.
"Aku tidak bermaksud menyinggungmu, aku hanya khawatir."
Dan suaranya terdengar bergetar saat mengatakan rentetan kalimat itu dengan cepat. Aku mendengus lalu mengatur napas, aku tahu Derrel sangat serius sekarang.
Handphone kutempelkan kembali ke daun telinga."Aku tidak apa-apa. Kau menelpon hanya untuk membahas masalah itu?"
Kudengar hela napasnya yang berat.
"Aku benar-benar cemas jika kau marah, aku sungguh tak berniat mengusikmu."
"Aku tidak terluka dan baik-baik saja. Jangan khawatir, lagipula apa yang akan terjadi?" Tanyaku, agak kesal, sikapnya berlebihan.
Dia diam kembali, cukup lama sebelum akhirnya terdengar mendeham.
"Baiklah, jika kau berkata begitu..."
Kemudian dia menjeda kalimat lagi, seperti masih ada yang ingin dia katakan.
"Apa kau akan ke kantor besok?"
Dan pertanyaan konyol ini yang dia keluarkan.
Aku berdecak kasar. "Tentu saja, kau pikir aku sudah mengundurkan diri hanya karena pergi begitu saja tadi siang?"
"Baiklah, aku juga ingin mengingatkan ada pertemuan besok diluar kantor."
Keningku mengerut mendengar responnya yang mengambang. Suaranya terdengar tak bersemangat.
"Istirahatlah, besok bukan hari yang mudah."
Dia memutus panggilan tanpa menunggu sahutanku, terdiam aku menatap layar handphone yang gelap. Aku tersadar beberapa detik kemudian, tersenyum masam karena ucapanku sendiri.
Aku tidak terluka dan baik-baik saja.
Apa aku sungguh begitu?
Lalu, notifikasi di pop-up membawaku pada isi chat yang tiba-tiba masuk. Rentetan kata disana langsung membuatku tahu bahwa, aku benar-benar sudah membohongi diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelasia : About
RomanceIn Her Freak Love Saat terburuk dalam hidupku mungkin tentang mengenalnya. Atau tidak juga, tidak ada cinta yang sama di dunia. Mungkin, aku kurang beruntung saja terjebak dengan satu pria aneh ini di London. Atau mungkin juga, aku terlalu beruntung...