Chapter 2

97 37 165
                                    

Senyum yang pernah kulihat, dan perasaan untuk pemiliknya.

-
-
-

"Gelasia, apa yang sedang kamu lakukan?"

Itu Siranda Mawenta, istri dari laki-laki yang mengangkatku sebagai anak. Aku menatapnya sambil tersenyum. Selalu sama setiap hari, cantik dan anggun. Masih berparas muda untuk kategori wanita 40-an.

"Biasa Mi, aku sedang mengerjakan paper." Jawabku.

Lalu aku menatap piring yang sedang ada di tangan kirinya, berisi hash brown, telur dan roti. Pada tangan kanan, dia juga membawa segelas susu. Dan segera ingat, aku sudah duduk di depan komputer dan berada dalam kamar sejak pagi, dan belum ada sarapan.

"Maaf, aku merepotkan lagi." Aku berubah menatap bersalah padanya.

"Tidak masalah sayang, makan sarapanmu yah." Katanya dengan lembut. Selalu seperti ini, dia selalu berusaha menjadi sosok yang sama dengan Mama, dan aku sangat menyukainya.

"Kamu tidak kuliah hari ini?" Dia bertanya lagi.

"Aku kuliah, tapi jam satu nanti," Aku menimpali lagi. "Dosen meminta pindah jadwal untuk hari ini."

"Selesai kuliah jam berapa? "

"Mungkin jam lima."

"Berarti sudah di rumah sekitar jam tujuh kan? Kami akan pergi ke acara pelelangan kolega, jamnya pas kamu sudah pulang kampus, mau ikut?"

Aku mengerutkan keningku, bukan hal yang baru jika mereka ingin membawaku ke acara seperti itu, dan aku selalu menerima.

"Mi, aku harus menemui teman setelah kuliahku selesai nanti." Tapi aku harus menolaknya dan sungguh tidak enak perasaan melakukan ini, hanya saja aku memang tidak bisa.

Dia tersenyum lembut, lalu mengusap rambutku. "Tidak apa-apa. Hari ini biar Mami dan Papi saja yang pergi." Ujarnya. "Kami mungkin pulang terlambat, kamu tidak apa-apa sendirian nanti?"

Aku menggeleng. "Iya, tentu saja."

Dia mengangguk. Setelah sekilas dia mengusap punggungku, kemudian melangkah keluar.
___

Aku hendak merapikan bukuku ke dalam tas saat Adinda datang menghampiriku, dia satu dari sekian Mahasiswa yang bisa datang ke London untuk kuliah. Semester kali ini-di kelasku sendiri, ada tiga orang dari negara yang sama denganku. Dan Adinda salah satunya.

"Aku butuh bantuanmu." Ucapnya segera tanpa basa-basi setelah berdiri di dekatku yang masih terduduk.

Alisku menikut, sambil melirik dia sekilas dan lanjut merapikan isi tasku. "Bantuan apa?" Datar, aku bertanya.

"Aku tidak mengerti penjelasan yang di berikan Doctor Louis tadi, bisakah kamu membantuku untuk membuat PowerPoint yang dia minta?"

Aku mengernyit semakin dalam saat kembali menatapnya, "Aku tidak punya cukup waktu, tugas itu harus di kumpul besok."

Matanya mulai menyipit, dan dengan gerakan cepat dia meraih tanganku. "Bagaimana jika kita mengerjakannya bersama?" Ujarnya dengan nada pasti.

"Apa?"

"Aku akan datang ke rumahmu. Ayolah Gelasia, bantu aku." Lagi-lagi, cara seperti ini dia lakukan.

Menyebalkan...

Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. "Hari ini aku punya kegiatan lain Adinda, tidak akan sempat."

Dia mengerutkan bibirnya, tidak senang akan tanggapanku, dia menghentakkan kakinya lalu berbalik meninggalkan. Aku hanya mengusap wajah dan menggeleng.

Gelasia : AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang