Chapter 20

38 11 23
                                    

Love isn't enough with looks and actions. It also requires explanation and definite form.
-
-

-


Aku memandangi rak pajangan di depanku, bingkai yang kubuat tadi sudah diletakkan disana lengkap dengan label harga, bersanding dengan beberapa mainan dan aksesoris yang lain.

"Bingkai itu saja yang didonasikan, dan yang ini aku ambil.." Aku lambaikan miniatur harpa di tanganku ke udara. "Kau membuatnya karena aku, berarti ini milikku." Lanjutku sambil berjalan ke hadapannya.

Matanya yang ikut melihat pada etalase pajangan di depan kami kemudian beralih padaku "Bukan begitu konsepnya, Tapi baiklah, harpa itu menjadi milikmu." Penjelasannya membuatku tersenyum remeh sambil mengedipkan bahu. "Dan Gelasia..." Panggilnya, ada jeda lama di dalam kalimatnya, begitu pula dengan
tatapan kami yang saling beradu.

Kuangkat aslis sebelah ketika dia masih diam dan hanya terpekur saja. "Ada apa?"

"Kamu...aku ingin disebut seperti itu." Ucapnya.

Aku bisa merasakan tatapan mataku padanya berubah sendu, aku melipat bibir yang tiba-tiba terasa kering. "Itu cukup sulit," aku mengangguk-angguk kaku sambil mengalihkan pandangan ke berbagai arah. "Sikap kasarku sungguh mendominasi sejak perpisahan kita."

Aku tersenyum kecut dan sesekali meliriknya, sekedar memastikan bagaimana reaksinya.

Dan dia hanya sedang menatapku saja. Sepertinya begitu untuk beberapa saat yang kupikirkan, karena kemudian dia juga ikut tersenyum. Aku tertegun sebentar dan tersadar ketika genggaman terasa pada tanganku. Dia berbalik dari bagian etalase rak pajangan play room ini dan melangkah di ikuti olehku.

"Aku antar kamu pulang." Ucapnya mendadak.

"Apa?"

"Aku juga harus menyapa Hendra dan istrinya."

Langkahku langsung berhenti. Tubuku membeku menahan langkah kami.

"Jangan..." Suaraku sedikit keras keluar.

Dan satu kata itu membuat dia melepaskan tangannya dariku.

"Kenapa?"

"Kau jelas...maksudku kamu jelas takkan mau pulang dengan wajah memar malam ini."

Aku meringis membayangkan Hendra membukakan pintu dan menemukan Yoda sedang berdiri disampingku. Mengingat dia salah satu orang yang ingin menggiling pria di depanku ini, tentu saja niat Yoda bukan ide yang baik-untuk sekarang.

"Karena aku membuat putri mereka menangis beberapa tahun kemarin?" Tanyanya.

Aku mendehem dan mengangguk kikuk. "Aku tidak perlu menjelaskan itu."

"Itu resikonya."

Respon yang sudah kuduga, bola mataku berputar dan aku menghela napas. "Tidak semua orang berpikir seoptimis dirimu, begitu pula denganku. Aku tidak akan memakimu dulu tadi jika memang bisa menerima dengan mudah alasan perpisahan kita, bahkan setelah tahu kesusahan yang sudah kau maksudku kamu...

"Berbicaralah seperti biasa Gelas." Dia menyelaku.

Kepalaku menggeleng sambil berkedip berkali-kali. Astaga, pembicaraan yang harusnya santai ini terlalu memusingkan. "Intinya itu, Hendra juga akan berpikir begitu."

Dia mangguk-mangguk "Kamu benar. Tapi apa dia jiga akan suka jika aku mengulur untuk menemuinya? Sepertinya itu hanya membuatku terkesan pengecut." Dia tersenyum hingga matanya sedikit menyipit dan tatapannya sangat intens seakan memperhatikan setiap inci wajahku.

Untuk kesekian aku berdeham kali ini dengan sangat keras. "Kalau kau memaksa yah sudah, tapi besok saja. Ini sudah jam yang sangat lewat untuk bertamu. Datanglah ke rumah besok, kau masih ingat alamatnya bukan?"

Dia mengangguk. "Aku selalu kesana setiap minggu jadi...

"Aku tahu, Meirka sudah cerita. aku hanya bertanya." Aku memotong ucapannya dan segera berjalan kembali mendahului dia dengan senyum yang tertahan di bibirku.

Bagaimana mimiknya karena candaanku, aku tak tahu. Tapi kemudian, langkahnya terdengar mengikuti di susul dengan genggamannya lagi di tanganku.

"Baiklah besok saja, tapi aku masih harus mengantarmu pulang."

Dengan tetap berjalan beriringan, aku kemudian menatap padanya dan dia melirikku sambil tersenyum tipis.

"Ini juga jam yang terlalu lewat jika perempuan pulang sendirian di malam hari. Aku hanya memastikan kamu pulang dengan selamat." Dia menjawab pertanyaan dari mimik wajahku yang bingung.

Tentu saja itu membuatku tak bisa menahan senyuman juga. Pandanganku kemudian turun pada genggaman kami, masih sama dengan 5 tahun lalu. Selalu terlihat pas saat dia menggandengku. "Padahal aku biasa pulang sendirian." Gumamku.

Dan aku tahu itu masih bisa dia dengar, jelas, karena dia malah mengeratkan lingkaran pegangannya di tanganku.

"Aku selalu yakin kita akan kembali. Apapun itu, mungkin pemikiran seperti ini juga salah satu alasan aku berani mengambil keputusan bodoh tersebut. Tapi semua menjadi lebih kacau. Aku terlalu angkuh ketika berpikir jika saatnya tiba, ketika aku menjelaskannya, kamu akan mengerti dan kembali. Tapi menunggu waktu tepat yang selalu kubayangkan tidak pernah datang."

Kalimatnya yang meluncur begitu saja-yang tiba-tiba dia ucapkan, hanya aku dengarkan dengan diam dan tetap berjalan di sampingnya.

"Kita benar-benar hampir tak bisa seperti ini lagi." Dia kembali bersuara.

Napasku yang terasa tersendat, berusaha kuatur dengan menghelanya keras. Kemudian aku tarik tanganku dari genggamannya lalu setelah itu kembali menyatukan tangan kami dengan jari yang saling bertaut.

"Yah kau memang seangkuh itu, sikapmu memang perlu edukasi khusus." Dan akhirnya aku menyahutinya.

Dia menatapku menggunakan wajahnya yang terlihat begitu menyesal dan aku langsung terkekeh. "Aku sudah puas memakimu, nanti di lanjutkan jika ada waktu." Ucapku

"Hmm?"

"Hmm..sepertinya jika kita bertengkar aku akan selalu punya alasan memojokkanmu." Kembali aku melontarkan candaan.

"Gelasia..."

Langkah kami yang sudah keluar dari gedung kembali terhenti ketika aku menahan dan berjalan ke hadapannya.

"Aku...aku sungguh takut dengan kemungkinan itu." Aku menghela napas sejenak. "Janji? Aku sudah tidak percaya lagi. Tapi, selama itu berarti bersamamu, meskipun aku masih sangat takut kembali di tinggalkan, itu tidak ada gunanya. aku sudah memgambil resiko seperti ini..." Kutarik naik tangan kami yang saling memegang. "Aku mencintaimu Giandra Yoda."

Dan detik berikutnya, kurasakan ciuman hangat di keningku. Waktu sungguh bersahabat ketika itu terasa berhenti hanya untuk kami sekarang. Aku tersenyum dan entah kenapa ketika mataku tertutup merasakan ciuman Yoda yang lembut, air mataku malah menetes.

"Maaf, kamu mencintai orang sepertiku." Suara Yoda kemudian menelusup pelan di telingaku dan aku hanya mengangguk.

Tapi mungkin, aku hanya kurang beruntung terjebak dengan pria aneh ini atau sebenarnya terlalu beruntung karena itu adalah dirinya.

....

Be Continue...

L•|2 🍀

Gelasia : AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang