Chapter 1

166 37 173
                                    

Pertemuan yang meninggalkan ingatan

-
-
-

London, Musim Gugur, 2011.

Semua ini berubah. Apa yang kujalani menjadi sangat berbeda.

From Papa :
Papa sudah mengirim 300 dolar, Maaf hanya begini yang Papa bisa kirim.

Pesan yang datang dua bulan sekali di ponselku itu tidak pernah membuatku merasa terpuruk. Sudah dua tahun lebih kujalani, dan aku sudah terbiasa. Tinggal di Negara asing ini sebenarnya tidak terlalu buruk.

Waktu membuat jatuh bangun untuk Papa mendapat pekerjaan itu, aku tak harus keberatan dengan kiriman uangnya yang memang pas-pasan, mengingat segala kebutuhanku juga sudah ada yang tutupi dan semua uang kiriman itu berakhir di rekening tabunganku. Hanya jika mendesak saja aku akan mengambilnya.

Tapi...

Walau sungguh, aku baik-baik saja di negara ini, tapi sering juga aku rindu ingin pulang ke tempat asal, terlebih ketika hujan yang saat musimnya membasahi jendela kamarku, itu sering membawa bau basah tanah dan pohon pinus dekat rumah yang kutinggali kini-mengingatkan pada suasana yang sama saat bersama semua orang yang kusayang.

Aku mengangkat wajah agak terkejut.

Lagi-lagi ingatan tentang kehidupan itu terputar kepalaku, melirik bola yang menggelinding di kaki kursi yang kududuki. Berkat bola berbahan plastik itu, aku tak terus ada dalam lamunan. Ternyata seorang anak tidak sengaja melempar bola karetnya kearahku.

Aku menatap anak itu dan tersenyum, dia sedang berjalan mendekat padaku.

"Maafkan aku." Ucapnya dengan wajah takut. Cara bicaranya, terdengar lucu, pengucapannya cadel.

Aku memungut bola miliknya. "Tidak apa-apa, ini bolamu."

Dia tersenyum lebar hingga aku melihat dengan jelas salah satu giginya yang ompong, menggemaskam sekali.

"Terima kasih." Ucapnya sambil bergegas berlari dariku-setelah menerima bola tersebut.

Aku masih tersenyum menatap punggungnya, lalu aku memandang sekeliling taman ini. Kemudian melihat jarum jam di menara big beng memberi tahu sudah lebih dari tiga jam aku duduk di atas kursi besi, novel yang baru kubeli dari tokoh penjual jalanan tadi sudah setengahnya aku baca.

Aku meraih novel dan tas ranselku di kursi besi itu, bergegas berjalan ke gerbang taman.

Sepertinya tidak untuk hari ini.

....

Kulemparkan tas ke tempat tidur begitu saja, lalu berbaring di sofa. Aku sempat melirik ke cermin, disana cukup jelas aku melihat lingkaran hitam di bawah kedua mataku.

Matakunyang sayu sudah akan tertutupnketika dering ponsel malah mengagetkan, dan aku seperti setengah hidup saat bangun dari sofa untuk mengambil benda itu dari dalam tas, aku ogah-ogahan menjawab dan tidak juga melihat siapa yang menelponku, jadi dengan enteng saja aku mengangkatnya.

"Selamat sore, kamu dimana? Saya sudah sampai di Hyde Park."

Keningku berkerut, suara ini, aku tahu suara ini punya siapa.

Dia menelponku?

"Halo..."

"Aku menunggu hampir empat jam. Aku pulang saja karena berpikir itu tidak jadi." Ujarki segera menimpali dia.

Cukup lama hanya diam, hingga kudengar suara hela napasnya. "Kamu dari departemen Bisnis bukan?"

"Iya, benar." Aku mencoba mengendalikan nada suaraku.

Gelasia : AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang