Iya tahu, epilog lama baru muncul...
Yah mau bagaimana lagi, saya tipe penulis yang tidak terlalu suka berbelit dan tidak mau kek cerita yang pertama, ribet endingnya. Jadi mau bikin akhir cerita biasa saja, benar-benar biasa, benar-benar ringan, sesuai konsep awal cerita ini di buat. Tapi ternyata semakin ingin membuat cerita sederhana, semakin menguras otak karena fellnya tetap harus tersampaikan, gitu loh.
Dan jadilah epilog sederhana ini, menurut zewi 🙁
Enjoy for reading ajalah 🐸🍀
-
-
-Aku berjalan perlahan ke arah tepi pantai, dan surai rambutku semakin kuat di terpa angin, menghirup bau asing laut dengan senyum yang mengembang lebar.
Lautan Swedia ternyata bahkan lebih indah di banding yang kulihat di kartu pos kiriman Deller.
"Suhunya bertambah dingin bukan?" Pertanyaan itu mengudara di samping telingaku-bersamaan dengan coat yang dia sampirkan ke bahuku.
Aku memutar bola mata sambil menghadap padanya. "Itu tahu, kenapa malah diberikan ke aku?" Aku sudah siap melepas mantel tersebut sebelum dia malah memutar tubuhku kembali menatap laut.
"Hangatnya..." Dia bergumam. "Aku bisa melakukan ini." Ucapnya sambil lalu kedua tangannya memeluk tubuhku.
Sejenak aku terkesima lalu tersenyum merasa tenang. Dan kami sama-sama diam sambil menatap luasnya lautan.
"Jam berapa nanti malam acaranya?" Yoda memecah keheningan.
"Jam 6, kita datang cepat saja, nanti bisa bicara dengan Derrel dan istrinya lebih lama-sebelum tamu undangan mereka banyak yang datang." Aku menjelaskan.
"Baiklah-" Dia menjawab dan keningku mengerut-sadar nadanya terdengar masih ingin bicara.
"Kenapa?" Tanyaku
Dia masih tidak kembali bersuara, membuatku melepaskan pelukan dan berbalik menatapnya. Tanganku naik meraih sisi wajahnya dengan lembut. "Ada apa?"
Tatapannya tertuju tepat ke mataku. "Semalam aku menelpon Papa kamu, juga Hendra. Aku memberi tahu mereka." Ucapannya keluar dengan begitu pelan.
Tapi meski begitu, aku tetap tidak bisa menutupi keterkejutan, hingga menarik turun tanganku- tidak berani membalas lagi tatapan Yoda. Mataku beralih ke arah lain, dimana Meirka sedang menemani Maela membuat istana pasir.
"Kamu jelas tidak ingin memberitahu mereka." Yoda lanjut bicara. "Jadi lebih baik aku saja."
Itu benar. Aku takut pada reaksi mereka.
"Apa tanggapannya?" Tanyaku hati-hati.
"Biasa saja."
"Marah?"
"Tidak."
"Mereka melarang?" Dengan cepat kembali aku bertanya, kali ini dengan lipatan di keningku yang makin dalam, harap dan cemas.
Yoda menggeleng. Dia kini tangannya yang terangkat mengusap rambutku. "Orang tuamu akan ke London setelah kita balik kesana. Mungkin-" Dia mengedikkan bahu dulu. "Hendra dan istrinya akan mengatur pertemuan keluarga, tapi ini mungkin, jadi jangan berharap banyak." Dia dengan percaya diri memperlihatkan mimik tak yakinnya.
Aku bingung, menatap dia dengan mulut agak terbuka dan hanya terdiam untuk sebentar lalu selangkah mundur. "Benarkah?" Tanyaku, mengabaikan soal ketidak pastian ucapannya.
"Hmm, sudah lega?" Pertanyaannya ini mendapat anggukan berkali-kali dariku.
Dia tersenyum tipis lalu meraih tubuhku ke dalam pelukannya kembali.
"Aku juga." Ucapnya
Aku mencium harum tubunya mengeratkan pelukan padanya, rasanya masih menjadi hal yang terlalu hebat bisa sampai di bagian ini bersama Yoda.
Aku menatap pada Meila, gadis itu sedang memperhatikan kami. Sadar aku sedang melihat padanya dia melambai kaku lalu kembali sibuk pada istana pasirnya, sontak aku tak bisa menahan senyum. Dan Meirka, cukup lama kami saling memandang sebelum akhirnya aku mengangguk pelan dan dia langsung mendengus lalu ikut tersenyum.
"Habis pertemuannya kamu langsung planing atur kartu undangan yah, dan WO. Kalau aku, mau ajak Meirka dan Meila fitting." Ujarku lalu sesaat kemudian aku menggeleng-geleng. "Sama-sama sajalah, kayaknya kamu atur WO jadinya kayak mau menikah sendirian. Kartu undangan juga sama-sama, nanti fitting bisa sekalian."
"Masih lama Gelasia...."
Aku terkekeh, nada suaranya terdengar jengah sekarang.
"Iya, pulang baru atur lagi." Aku mengalah, menyudahi pembicaraan barusan. "Oh iya satu lagi buat kamu." Lanjutku kemudian.
"Masih ada?"
"Aku mencintaimu." Ucapku.
Dia tak segera menjawab, tapi aku tetap menunggu. Sampai kemudian dia menarik kepalanya menjauh untuk bisa menatapku.
"Aku juga sangat mencintaimu." Ucapnya.
Aku tersenyum dan mengangguk mengerti. aku sandarkan kepala ke dadanya, rasanya semakin hangat. Sejujurnya, Yoda tak perlu membalas ucapanku, lagipula tak ada lagi yang terasa jauh darinya atau terasa penuh tanda tanya.
Aku sudah terlalu tahu, tentang perasaan di antara kami.
SELESAI....
Akhirnya, lega. Sungguh bisa bernapas dengan baik sekarang. Makasih untuk teman-teman dan pembaca yang mendukung cerita ini dari awal sampai selesai.
I LOVE YOU🍀
L•|2 🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelasia : About
RomanceIn Her Freak Love Saat terburuk dalam hidupku mungkin tentang mengenalnya. Atau tidak juga, tidak ada cinta yang sama di dunia. Mungkin, aku kurang beruntung saja terjebak dengan satu pria aneh ini di London. Atau mungkin juga, aku terlalu beruntung...