Chapter 4

71 31 116
                                    

Tak berbicara mengenai kebodohan karena cinta. Nyatanya aku lebih bodoh dari itu.

-
-
-

Awal Musim Dingin, 2011.

"Gelasia, sepertinya orang itu mengenalmu."

Aku yang masih mencatat di bundel terpaksa mengalihkan fokus ke Derrel, teman sekelas yang baru saja bicara itu.

"Apa?" Tanyaku cepat.

"Disana, pria di depan kelas kita itu terus melihat ke kesini-padamu lebih tepatnya." Dia menunjuk kearah pintu.

Aku memandang ke arah tersebut, dan menemukan sosoknya disana, dia yang mengatakan akan datang lagi tapi tak pernah muncul setelah dua bulan berlalu.

Yoda, dia berdiri tegak di depan pintu kelasku dengan tangan saling bertaut ke belakang tubuh. Entah sejak kapan, detak jantungku berdetak begitu keras melihatnya disana. Sungguh, kupikir dia tidak akan pernah kembali kulihat.

"Dia seakan tidak lelah terus berdiri disana dari tadi." Kembali info itu keluar dari mulut Derrel.

Dari tadi?

Bergegas aku merapikan semua peralatanku di atas meja, memasukkannya ke dalam tas dengan serampangan. "Kelas kita setelah ini di batalkan, ya kan?"

"Iya, kenapa? "

"Aku pergi duluan kalau begitu."

"Kamu ingin menemui pria itu?" Derrel mengedipkan dagu pada Yoda.

Aku mengangguk, kulirik wajahnya dan menyadari juga teman kelasku yang lain-yang masih duduk tak jauh dari bangku kami-semuanya menatap bingung padaku, aku menghela napas, mencoba hanya mengabaikannya dan bergegas berlari keluar kelas.

"Apaan ini? Apa ini seperti yang kupikirkan?" Tanyaku langsung setelah berdiri di depannya.

Dia tersenyum kemudian mengangguk. "Yang kamu pikirkan benar, aku sedang menunggumu."

"Yang aku pikirkan penggantian uangku."

Dan senyumnya segera luntur dan berdeham.

Aku berdecak keras. "Tapi tentu saja pak Giandra, seharusnya menelpon saja jika memang menunggu begini, kelasku sudah selesai."

"Kamu masih sibuk di dalam dari tadi."

"Jadi kau sungguh sudah lama berdiri disini?" Keningku mengerut ketika fokus melihat kepadanya.

"Hmm."

Aku terperangah lagi. "Yang benar saja kau. Jadi, kenapa kesini? Apa uangnya sudah ada?"

Dia menghela napas, sepertinya ia merasa suasana kembali biasa, dan dia tertawa. "Apa kamu hanya memikirkan uang itu?"

"Tentu saja."

"Tidak ada hal lain?"

"Iya."

"Aku bilang aku sedang menunggumu."

Aku langsung mengangkat sebelah alisku dan bersidekap, menatap dia dengan jengah. "Iya aku dengar itu, dan semoga kau menungguku untuk mengembalikan uangku."

"Tidak, tapi untuk mengajakmu jalan-jalan." Jawabnya dengan sangat tenang, suara yang dia keluarkan juga begitu lembut hingga aku merasa aneh lagi.

"Hari itu makan dan sekarang jalan-jalan. Aku tidak sesantai dirimu, aku masih ada kuliah." Wajah masamku sungguh tak terkontrol sekarang.

"Bukankah kamu sudah tidak ada kelas?"

Bagaimana dia tahu?

Bibirnya mengulum, seakan mengerti kebingunganku. "Ternyata aku benar, mereka berisik sekali dari tadi, sepertinya sangat suka kelas yang dibatalkan." Ujarnya sambil menatap sekeliling kami-tepatnya ke arah beberapa teman sekelasku yang berkeliaran di koridor.

Gelasia : AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang