Chapter 3

93 32 170
                                    

Perkataan aneh yang membuat hati berdetak cepat.

-
-
-

"Menemui kamu lebih penting."

Mungkin semua yang kurasakan bukanlah apa yang kuanggap benar adalah nyata. Mungkin saja hanya delusi. Seperti yang ada sekarang, aku takkan percaya sosok yang hanya berada dalam mimpiku mengatakan hal begini padaku-kecuali jika dia hanya bercanda.

"Kau menganggap situasi ini biasa saja?" Tanyaku skeptis.

"Memang apa ada bagian pembicaraan kita yang melenceng? "

"Iya."

Alisnya terangkat sebelah. "Apa? Yang mana?"

"Jangan bermain-main pak Giandra, aku sudah memberikan trofi itu. Berikan saja aku uang untuk biayanya."

"Materialistik sekali." Dia mencibirku.

Sesaat aku melotot padanya dan menghembuskan napas dengan kasar. Minuman kaleng yang dia berikan kubuka dengan tidak sabaran dan menenggaknya hingga hampir habis. Lalu kutatap dia dengan pandangan tajam. "Jika kau berpikir tinggal di London gratis, maka semua orang di dunia ini sudah tinggal disini."

"Tidak mungkin aku berpikir begitu."
Alisnya terangkat.

Aku mengangguk, kuacungkan tanganku padanya. "Karena itu, aku paham kau juga tahu. Aku memakai uang tabunganku untuk biayanya, asisten dosen bilang kau akan menggantikan uangku ditambah bonus jika melakukan ini. Sepertinya itu alasan terbaik kenapa aku sabar meski kau menunda terus untuk bertemu."

Dan dia malah terbahak menanggapiku. Aku sedang serius. kupikir memang sudah tidak ada yang harus kami bicarakan-selain ini. Lalu kenapa dia malah tertawa, seolah yang kutakan adalah banyolan.

"Kau yakin masih waras, pak Giandra?" Aku mulai tak tahan dengan situasi ini.

"Kenapa bertanya?" Dia balik menanyakan sambil meredam sisa tawanya.

"Tentu saja aku tahu kau orang normal tapi siapa yang tahu mungkin tidak juga. Aku hanya bertanya." Jelasku dengan cepat dan acuh tak acuh.

Dia diam, tidak tersenyum atau tertawa seperti tadi, hanya menatap penuh padaku.

"Entahlah sekarang kau tidak pegang uang atau apapun itu. Akan kutuliskan nomor rekeningku saja, kirim jika kau ada waktu." Aku mengambil kertas dan pulpen dari dalam tasku, menuliskan digit nomor rekeningku lalu memberikan kertas itu padanya.

"Jangan berniat menipuku." Ujarku tegas.

"Aku jadi ingin mengajakmu makan bersama."

Lagi-lagi dia menimpali dengan tidak nyambung.

"Hah?!" Aku menyentak.

"Kenapa terkejut begitu? Aku hanya mengajak makan, apa kamu tidak lapar?"

Aku pun melirik sinis padanya. "Iya, aku sedang lapar, karena itu aku ingin menyelesaikan ini dengan cepat lalu pulang dan makan." Aku memasukkan kertas yang tak kunjung dia ambil itu ke dalam kantong coat yang dia pakai. "Aku tahu kau dengar kata-kataku tadi, aku tunggu uangnya." Ucapku lalu berdiri.

"Kalau begitu..." Ucapannya itu membuatku berhenti dan berbalik melihat kembali padanya.

"Apa lagi?" Tanyaku segera.

"Ayo makan denganku. Sambil minum juga boleh." Dia mengakhiri perkataannya dengan senyum lebar-yang entah kenapa malah jadi menyebalkan kulihat.

Dia melirik jam di lengannya. "Waktunya sudah pas, kita bisa makan malam bersama."

Gelasia : AboutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang