46. Kemungkinan Terburuk

1.8K 339 70
                                    

SELAMAT SIANG!

.
.
.
.
.

Kirana membuka matanya ketika merasakan sakit dibagian perutnya kembali datang. Diliriknya Jeffreyan yang tertidur di sampingnya. Pria itu nampak pulas, hingga mengeluarkan dengkuran halus. Mungkin Jeffreyan lelah setelah seharian bekerja. Perlahan Kirana memindahkan tangan Jeffreyan yang semula berada di perutnya ke atas guling, lalu dirinya turun dan pergi ke kamar mandi. Kirana merasa seperti ingin buang air besar, tapi beberapa menit duduk di closet, Kirana sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan buang air besar. Akhirnya dia kembali lagi ke dalam kamar, membaringkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Jeffreyan. "Jangan lahir sekarang Khai, besok aja ya nak. Sekarang baru jam dua pagi. Biarin Ayah bobo dulu, kasihan kalau Mama bangunin." Kirana mengusap-usap perutnya, berharap kontraksi yang sedang dialaminya sedikit mereda. Sebetulnya Kirana sudah merasakan gelombang cinta yang dikirimkan bayinya sejak tadi sore, namun dirinya belum mengatakan apa-apa pada Jeffreyan atau anggota keluarganya yang lain. Kirana merasa belum waktunya untuk memberitahu mereka, apalagi kontraksi tersebut masih sering hilang.

Dirasa kontraksinya mulai menghilang lagi, Kirana kembali melanjutkan tidurnya. Namun hanya sebentar, pukul empat pagi wanita itu kembali terbangun ketika merasakan mulas di perutnya. Kirana meringis, menyalurkan rasa sakit tersebut dengan meremat sprai. Dia mengambil napas panjang dan membuangnya, begitu terus hingga beberapa kali. Kirana tidak sepanik dulu ketika mengalami kontraksi, dirinya bisa lebih mengendalikan diri karena ini sudah kali ketiganya melahirkan. Kirana mulai memahami bagaimana menangani rasa sakit tersebut. Tidak panik dan tetap tenang. Caranya berhasil, rasa mulas itu perlahan-lahan mulai mereda dan Kirana bisa melanjutkan kembali tidurnya.

Pukul tujuh pagi, saat Jeffreyan sedang memakai kemejanya dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit, Kirana memanggil dirinya dari dalam kamar mandi. "Kenapa sayang?" tanya Jeffreyan sesaat setelah membuka pintu kamar mandi yang tak terkunci.

Kirana memperlihatkan celana dalamnya pada sang suami. "Udah keluar lendir sama darah Mas," kata Kirana.

"Yaampun, aku telepon atasan aku dulu deh, minta cutinya di majuin. Soalnya aku ngajuin cutinya waktu itu buat besok sampai tiga hari ke depan. Gak tahu kalau si adek bakal lahir dua hari lebih cepet dari perkiraan."

"Yaudah kamu hari ini kerja aja gak apa-apa. Nanti aku telepon Mama atau Bunda aja buat nemenin."

"Gaklah, istri aku udah mau lahiran masa akunya kerja. Aku mau nemenin kamu Mam. Sekarang pindah ke kasur dulu aja ya, kamu bisa jalan gak?" tanya Jeffreyan.

"Bisa, tapi susah bangun."

"Ayo aku bantu." Jeffreyan memapah tubuh Kirana untuk duduk di tepi ranjang. Pria itu lalu mengambil ponselnya yang berada di nakas, menghubungi sang atasan untuk pengambilan cuti. Setelah selesai dengan urusannya, Jeffreyan berjongkok di hadapan istrinya. "Kamu udah ngerasa mules?" tanya Jeffreyan.

"Udah, dari semalem malah. Cuma pola kontraksinya masih gak tentu. Kadang dua jam sekali, kadang lebih."

Jeffreyan mengangguk paham. "Aku hubungin orang tua kita ya, kasih tahu mereka soal ini."

"Iya."

Tak berselang lama setelah dihubungi Jeffreyan, Erma dan Ralin datang ke rumah anak mereka. Kedua nenek itu menghampiri Kirana yang kini sedang duduk di gym ball di dalam kamar dengan ditemani Jeffreyan. Sekilas, Ralin merasa dejavu akan pemandangan di hadapannya. Dia teringat dengan menantu pertamanya yang dulu setia menemani Kirana di masa-masa tersulit putrinya ketika akan melahirkan, sama seperti yang Jeffreyan lakukan sekarang. "Udah ngerasa mules Ran?" tanya Ralin.

Remind Me (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang