47. Khai Kayak Siapa?

1.7K 336 109
                                    

MALAAAM, MAAP ASEM GA SEMPET UPDATE SIANG KARNA MASIH PAT HEHEHE

.
.
.
.
.

Doa dan ucapan selamat mengalir untuk Jeffreyan sekeluarga atas kelahiran Khai, baik dari saudara, teman, bahkan pengikut media sosial Jeffreyan yang tidak sedikit karena pria itu memang cukup terkenal akibat dirinya yang sering mengisi acara seminar atau datang ke kampus-kampus untuk mensosialisasikan mengenai kesehatan mental. Khai benar-benar menjadi pusat perhatian baru di keluarga Jeffreyan, dari yang paling tua hingga muda merasa gemas dengan bayi yang wajahnya mewarisi kecantikan sang mama itu. Para kakaknya pun tak bisa diam melihat kegemasan Khai, Jihan sampai Jinan berebut ingin melihat adik mereka dari dekat. "Geseran sih Kak, gue mau lihat adek." Kin mendorong tubuh Jihan pelan agar menyingkir dari depannya. Dia tak bisa melihat Khai yang baru saja di antar ke ruang rawat setelah melewati pemeriksaan dengan dokter anak, dan kini bayi itu berada di dalam boxnya.

"Gue juga mau lihat," sahut Jihan, berusaha mempertahankan posisinya. Dirinya tidak akan ingat umur jika sudah bertengkar dengan Kin.

"Nan, jangan di situ. Gelap nih cahayanya, gue mau foto adek," kata Kala yang sibuk mengatur pencahayaan agar hasil foto Khai yang diambilnya tak mengecewakan.

"Gak mau," tolak Jinan.

Rendra yang duduk di sofa dan melihat tingkah para cucunya terkekeh sambil menggeleng. "Punya mainan baru mereka," katanya.

"Makin pusing aja Jeffreyan sama Kirana kalau tiap hari mereka rebutan Khai," ujar Jefri.

"Kenapa nih ngomongin aku sama Kirana?" Jeffreyan keluar dari kamar mandi sembari memapah tubuh Kirana, membantu istrinya untuk kembali duduk di brankar setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi.

"Itu lho anak kamu berebut Khai," kata Ralin memberitahu.

Kirana melihat ke arah anak-anaknya. Pertikaian kecil itu masih terjadi. "Kalau Khainya nangis, kalian yang diemin ya," ujar Kirana.

"Gampang Mam, tinggal aku tutup mulutnya," sahut Kin.

"Sembarangan," sungut Kirana. Benar saja, karena terganggu dengan kebisingan yang dibuat para kakaknya, Khai yang semula tertidur tenang akhirnya terbangun dan mulai menangis. "Apa kan Mama bilang. Yah, tolong ambil Khainya," pinta Kirana. Jeffreyan kemudian mengambil Khai dari boxnya, pria itu masih terlihat kaku ketika menggendong putri kecilnya, membuat Kirana menahan tawanya karena melihat hal tersebut.

"Kaku banget kamu gendong adeknya," ujar Kirana.

"Maklum Ran, empat puluh lima tahun hidup jarang banget bahkan hampir gak pernah Jeffreyan gendong anak bayi yang baru lahir," kata Erma. "Semuanya cuma karena satu alasan, kamu. Dulu, setiap kali disuruh nikah, Jeffreyan selalu nolak karena dia cuma mau nikah sama kamu. Untung aja kamunya mau nikah sama Jeffreyan, coba kalau enggak? Bunda gak akan punya banyak cucu kayak sekarang."

"Tinggal minta ke Jola Bund," sahut Jeffreyan sambil memberikan Khai pada Kirana untuk diberi asi.

"Gue pukul lo Kak!" sebal Jola.

"Duh Tante, serem banget sih ngamuknya," cibir Kin.

"Kin!" Jola mencebik, mengundang tawa orang-orang yang berada di ruang rawat Kirana.

Remind Me (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang