15. Satu Bulan

1.4K 348 101
                                    

PAGIIIII
.
.
.
.
.

"Sakit ya?" tanya Kirana pada Kin yang berbaring di sebelahnya. Malam ini Kin meminta untuk tidur di kamar utama bersama Kirana. Meski setiap hari bertemu, tetapi Kin merindukan sang Mama. Sudah lama dia tidak tidur bersama Kirana seperti ini. Kin sama sekali tidak malu jika dia dianggap anak Mama karena selalu menempel pada Kirana. Dia justru senang, karena bagi Kin, Kirana adalah segalanya, tidak ada lagi rumah untuknya pulang selain sang Mama dan Kakaknya.

"Enggak. Udah biasa aku dapet luka gini," sangkal Kin.

Kirana tersenyum. Dia membawa Kin ke dalam pelukannya dan mengusap-ngusap punggung putranya.

"Maaf ya Mam," ujar Kin. "Mama besok jadi harus ke sekolah gara-gara aku yang berantem sama Sam."

"Gak apa-apa, sekali-kali buat masalah. Bosen juga Mama lihat kamu dapet prestasi terus, gak ada yang menantang," sahut Kirana.

Kin tertawa pelan. "Mama aneh banget. Anaknya buat masalah malah seneng. Pokoknya aku janji, habis ini Mama gak akan dipanggil lagi ke sekolah karena aku yang buat masalah, tapi dipanggil karena aku yang selalu buat prestasi. Supaya Mama bangga sama aku."

Kirana melepaskan pelukannya. Dia memperhatikan wajah Kin yang memiliki kemiripan dengan mendiang suaminya. Tangan Kirana bergerak mengusap pipi putranya yang berisi. "Mama udah bangga sama kamu Bang. Terlalu banyak yang udah Abang kasih buat Mama, sampai kadang bikin Mama nangis sendiri saking bahagianya punya anak kayak kamu," kata Kirana. "Harusnya Mama minta maaf soal foto itu." Kirana sudah tahu mengenai foto yang Sam tunjukkan pada Kin, karena sang anak telah menceritakan semuanya pada Kirana beberapa jam yang lalu, sebelum Jeffreyan pulang. Hati Kirana ikut sakit membayangkan betapa terkejutnya Kin sampai tidak pulang ke rumah hingga malam hari karena melihat foto orang tuanya bersama pria lain yang diambil secara diam-diam dan membuat beberapa pihak menjadi salah paham.

"Mama sama Om Lutfi gak punya hubungan apa-apa Kin. Kita berdua hanya sebatas teman kerja. Walaupun perasaan Om Lutfi terhadap Mama sedikit berbeda. Om Lutfi suka sama Mama, dia bahkan pernah ngajak Mama menikah empat bulan yang lalu. Tapi Mama jelas nolak, Mama bukan perempuan yang mau dijadikan simpanan, Mama gak mau anak-anak Mama malu karena punya orang tua pelakor. Terlebih Om Lutfi juga udah punya istri, bahkan anak yang seusianya sama kayak kamu." Kin menyimak dengan tenang penjelasan Kirana. "Dan yang paling penting, Mama gak punya perasaan apa-apa sama Om Lutfi. Selama beberapa bulan ini Om Lutfi gencar deketin Mama, dia bahkan selalu ngirimin Mama makan siang. Tapi Mama gak ngerespon sama sekali, makanan yang dia kasih aja suka Mama kasihin lagi ke OB. Dan soal foto yang kamu bilang, Mama bukannya mau dirangkul sama Om Lutfi, Mama gak mau juga lah, jijik. Kamu tahu gak? Sebenernya Om Lutfi itu gak ada dua detik pegang pundak Mama, karena detik itu juga Om Lutfi langsung Mama dorong sampai jatuh. Sayang aja gak ke foto sama detektif gadungan suruhan Mamanya Sam."

"Terus yang kata Sam Om Lutfi sama Mama keluar dari hotel barengan itu emang bener. Tapi bukan buat nyewa kamar, melainkan rapat. Lagian Mama gak cuma berdua kok ke sananya, ada temen-temen kantor Mama yang lain. Bahkan Tante Viona aja ada di sana." Kirana memainkan poni Kin yang sudah mulai panjang dan belum sempat dipotong. "Kamu percaya kan sama Mama?"

Kin tersenyum. Dia mengangguk. "Walaupun Mama gak jelasin, aku tetap percaya sama Mama."

"Makasih ya, kamu emang anak yang baik."

"Aku baik juga gak?" Jihan masuk ke dalam kamar Kirana dan langsung melompat ke atas kasur, memeluk Kirana dari belakang. "Jawab dong Mam, aku baik juga gak?" tanya Jihan.

Remind Me (END✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang