Prolog

965 122 36
                                    

Ini sungguh mengagumkan!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini sungguh mengagumkan!

Sita takjub dengan laki-laki tinggi kurus di depannya yang sedang tengkurap di atas ranjang, tepat di malam pengantin mereka. Rambut lurusnya yang saat resepsi pernikahan disisir ke belakang, kini sudah berantakan. Dan itu membuatnya tampak berbeda. Ia bukan laki-laki yang sangat tampan, tetapi bagi Sita tetap menawan. Ada sesuatu yang menarik dalam diri laki-laki itu. Sesuatu yang membuatnya yakin untuk menerima lamarannya beberapa minggu lalu, tepat satu bulan setelah wisuda sarjananya.

Awalnya, Sita mengira mereka pasti akan merasa canggung satu sama lain. Siapa yang tidak, kan? Ini malam pengantin, sedangkan sebelumnya mereka hanya pernah bertemu tiga kali. Pertama saat mereka diperkenalkan oleh guru ngaji. Kedua ketika lamaran. Dan yang ketiga, akad nikah tadi pagi. Namun, ternyata semua berjalan dengan lancar.

Syukurlah, semua baik-baik saja.

Walau orang tuanya dan lima kakaknya terasa berlebihan dengan menata kamarnya penuh dengan mawar merah di antara cat dan seprai berwarna putih. Mawar merah itu bahkan dibentuk love di atas ranjang pengantinnya. Memang romantis, tetapi membuat Sita gugup.

"Kenapa berdiri saja di situ? Sini! Katanya mau bikin sesuatu bareng?" tanya Hanif, laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya itu. Senyum di bibir laki-laki itu membuat Sita berdebar. Bukan berdebar karena takut, tapi berdebar karena ia antusias dengan apa yang akan mereka lakukan.

Sita berjalan mendekati Hanif. Hari pertama jadi istri, sebaiknya ia menunjukkan kepatuhan. Lantas ia duduk di sebelah Hanif. Namun Sang suami menepuk kasur di sebelahnya, meminta Sita mengikuti posisinya. Tengkurap. Di sebelahnya. Berdua.

Dengan ragu, Sita melakukannya.

Sebuah buku tulis terbuka di hadapan Hanif. Lengkap dengan sebuah pena di tangannya. Iya, inilah yang akan mereka lakukan. Membuat visi misi pernikahan.

Itu yang membuat Sita berdebar. Ia memang selalu bersemangat kalau membuat perencanaan semacam itu, walaupun ia sudah melakukannya berulang kali tiap mengisi bullet journal.

Kesepakatan membuat perencanaan itu sebenarnya bukan hal yang disengaja. Tadi, setelah Sita keluar dari kamar mandi untuk melepas gaun pengantinnya yang berat dan bikin gerah, Hanif menemukan bullet journal di mejanya.

Lalu laki-laki kurus itu bertanya, "Kamu suka bikin bullet journal, ya?"

Sita panik melihat Hanif yang memegang buku catatannya. Biasanya ia tidak mengizinkan siapa pun melihat buku itu. Ia malu kalau ada yang tahu impian-impiannya. Refleks, ia berlari dan merebut buku, lalu menyodok perut Hanif dengan sikunya. Sampai membuat suami yang baru menikahinya itu terlempar ke kasur dengan keras. Hingga mawar-mawar yang sudah susah-payah dibentuk simbol cinta itu berantakan.

Ketika mendengar suara Hanif yang mengaduh, Sita justru merasa lega. Untung saja suaminya jatuh ke kasur, coba ke lantai. Pasti akan lebih sakit. Karena sikutan Sita memang sudah terkenal. Bagi orang-orang yang mengenalnya, tentu saja. Walau begitu ia tetap merasa bersalah, karena laki-laki itu menjadi korban kebiasaannya di malam pengantin seperti ini.

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang