6. Yang Pernah Terucap

287 41 2
                                    

Sudah tiga hari berlalu, dan tidak ada tanda-tanda dua orang yang mengantarkan koper datang lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah tiga hari berlalu, dan tidak ada tanda-tanda dua orang yang mengantarkan koper datang lagi. Tas besar berwarna army itu masih tersimpan aman di lemari khusus, bersama perhiasan dan surat-surat berharga.

Sita semakin resah, meskipun Hanif sudah berjanji akan selalu mengingat impian pernikahan mereka. Bahwa keluarga ini hanya akan diberi nafkah halal, baik cara maupun sumbernya. Ada satu percakapan dengan Hanif yang mengganggunya.

Awalnya Sita tidak menganggap itu sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Namun, keberadaan koper dengan banyak uang yang sangat banyak, membuat Sita berpikir ulang. Mungkin itu ada hubungannya.

Sekitar satu bulan lalu, Hanif pulang dengan wajah lelah dan terlihat resah. Sita menduga hal itu berkaitan dengan percakapan mereka pada malam harinya.

"Teman-teman seangkatanku sudah mendapatkan jabatan struktural semua, Bun. Tadi Andika sama Trias dilantik menjadi pejabat Eselon IV." Hanif bercerita saat akan bersiap tidur. Seperti biasa, mereka selalu melakukan pillow talk. Hal itu cukup efektif sebagai cara komunikasi mereka yang hanya bisa bertemu di pagi dan malam hari.

"Ya nggak pa-pa, Yah. Rezekinya mereka. Suatu saat insya Allah Ayah jadi pejabat juga." Sita menimpali, sambil berganti baju dengan baju tidur berlengan pendek.

Hanif tertawa. "Ayah nggak terlalu berharap kok, Bun. Wong kondisi sekarang ya seperti ini. Standar dapat jabatan itu seperti apa, Ayah juga nggak ngerti. Ada tuh, yang pangkatnya lebih rendah dari Ayah sudah dapat jabatan," tutur Hanif, menyampaikan unek-unek.

Sita mendekati Hanif yang sudah berbaring di ranjang sambil melipat tangan di atas kepala, lantas mencium pipinya. "Bunda dan anak-anak tetap bangga sama Ayah. Yang penting nafkah yang Ayah kasih keluarga itu halal," bisiknya setelah melepas bibir dari pipi suaminya.

"Bunda memang istri salihah," ucap Hanif, langsung memeluk Sita. Dan tentu saja tidak cukup sampai di sana. Karena setelah itu, Hanif menghujaninya dengan ciuman di berbagai tempat yang biasanya tertutup rapat.

Itu hal pertama yang membuat Sita meragukan Hanif. Ada obrolan lain, baru beberapa minggu lalu sebelum Hanif bimbingan teknis ke Semarang, yang juga mengganggunya.

"Ada orang menemui Ayah, nawarin kompensasi lumayan. Syaratnya, Ayah jadi perantara antara orang itu dan atasan Ayah," cerita Hanif hari itu.

"Mereka ingin Ayah ngapain?" Sita kaget karena ada tawaran semacam itu, padahal Hanif bukan pejabat di kantornya, dan tidak bisa mengambil kebijakan apa pun.

"Mereka ingin kami memasukkan sebuah proyek ke dalam perencanaan, padahal berdasarkan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), tempat calon proyek mereka itu merupakan lahan pertanian, tidak boleh dijadikan bangunan," jawab Hanif dengan nada tertekan.

"Ayah tolak, kan?" tanya Sita agak kasar.

"Iya, Bunda. Nggak mungkin Ayah nerima yang kayak gitu." Jawaban Hanif membuat Sita mengembuskan napas lega.

"Eh, mereka kok nggak langsung ke atasan Ayah saja?" tanya Sita penasaran.

Hanif mengedikkan bahu. "Apa mereka tahu kalau atasan Ayah memercayai Ayah untuk mengerjakan format perencanaan itu, ya?" tanyanya seolah pada dirinya sendiri.

Setelah itu, Sita tak memerhatikan Hanif lagi.

Sekarang, dua obrolan itu muncul kembali di ingatan Sita. Dan ia merasa cemas. Bagaimana kalau suaminya ingin mengejar pencapaian teman-temannya dengan cara yang tak halal? Bagaimana kalau uang dalam koper itu benar-benar untuk Hanif? Mengingat Hanif menangani beberapa proyek kantor, Sita khawatir kalau itu uang suap.

Astagfirullah ... Astagfirullah ... Sita kembali berusaha mengusir syak wasangka di hatinya.

**

"Jadi kendaraan mereka Jeep Cherokee tahun 2000-an?" tanya Hanif saat sarapan, di hari keempat mereka menunggu kedatangan pengantar koper. Namun sama sekali tak ada kabar berita. Seolah dua orang berpakaian hitam itu menghilang ditelan bumi.

Sita mengangguk, sambil memerhatikan Hanif dengan saksama. Suaminya itu kelihatan serius ingin mencari tahu soal pengantar uang dalam tas koper itu. Tidak mungkin kan kalau Hanif hanya berpura-pura?

"Memang Bunda tahu soal mobil?" tanya Adiba bermaksud meledek bundanya. Hal itu langsung membuat Sita mengalihkan pandangan ke anak perempuannya.

"Ih, kamu nggak percaya Bunda. Mobil yang dipakai dua orang itu kan sama seperti yang dipakai Pakdhe Hadziq. Warnanya juga persis," jawab Sita yakin, sebab mobil itu persis milik kakaknya nomor lima yang suka off road.

Adiba tersenyum jail mendengar jawaban bundanya. "Diba pikir Bunda nggak tahu nama mobil Pakdhe."

"Hih, kamu tuh ya, kecil-kecil sudah pinter ngeledek Bunda." Sita menggerutu karena sikap anak keduanya. Sedang Adiba malah tertawa jail.

"Sebenarnya itu mobil apa, sih? Kok Bunda sama Ayah sepertinya serius sekali ingin mencarinya?" tanya Adiba ingin tahu. Jiwa detektif anak perempuan Sita kadang juga membuatnya repot. Maka Sita harus menjawab dengan perkataan yang menunjukkan kekuasaannya sebagai orang tua.

"Ssst, anak kecil dilarang ikut-ikutan," balas Sita.

"Ih, Bunda gitu ...." Adiba cemberut.

Sementara Farras hanya diam mendengarkan percakapan itu. Hanif sudah berbicara dari hati ke hati dengan anak lelakinya. Walaupun sampai saat ini, Farras belum mau memberikan alasan kedekatannya dengan anak-anak punk, Hanif mencoba memberi kepercayaan kepadanya. Dan setelah melalui diskusi yang panjang, dengan berat hati akhirnya Sita setuju untuk kembali membiarkan Farras pulang naik angkutan umum. Dengan janji, jika Farras berbuat sesuatu yang buruk, maka izin itu akan dicabut.

"Hm, nggak banyak yang punya mobil kayak gitu." Hanif tampak berpikir. "Mungkin Ayah bisa menemukan orang itu. Apa Bunda ingat plat nomornya?" tanyanya kemudian.

Sita mencoba mengingat-ingat saat mobil itu meluncur ke jalanan. "Kalau plat mobilnya, Bunda nggak ingat. Yang pasti bukan plat daerah kita. Plat Jakarta itu, Yah."

Hanif mengangguk-angguk. "Kalau orangnya seperti apa?"

"Yang satu pendek gempal, kulitnya agak hitam, rambutnya dipotong cepak. Terus, nggak sengaja Bunda lihat ada tato di lehernya. Nggak kelihatan jelas, sih. Mungkin itu tato ular. Kalau yang satunya lebih muda, orangnya tinggi sekali. Kalau mereka berdua bersisian, yang tua sebahunya yang muda. Waktu itu dua-duanya pakai celana hitam, jas hitam, sama kaca mata hitam. Membuat Bunda takut saja." Sita menjelaskan sesuai yang diingatnya.

"Ayah beneran nggak kenal mereka?" tanya Sita, setelah dilihat suaminya tampak berpikir serius.

"Bunda, sudah berapa kali Ayah bilang, Ayah nggak ada urusan yang menyangkut uang banyak kayak gitu," sangkal Hanif untuk kesekian kalinya, seraya melirik anak-anaknya. Ia berdeham, memberi kode pada istrinya untuk menghentikan pembicaraan mereka.

"Oh ya, pagi ini kalian berangkat sekolah sama Ayah, ya." Hanif memberitahu anak-anaknya yang ternyata langsung disambut antusis.

"Yes!" teriak Adiba. Sedangkan Farras, hanya binar wajahnya yang menunjukkan kalau ia senang ayahnya yang mengantar sekolah. Namun tidak mengatakan apa-apa.

Lalu mereka menuju mobil Kijang LGX tahun 1999 yang selama ini menemani Hanif berangkat ke kantor.

"Bun, kalau ada apa-apa, langsung telepon Ayah, ya." Hanif berpesan saat Sita mencium tangannya.

"Yang penting Ayah langsung respon kalau ditelepon. Jangan sok sibuk." Sita memonyongkan bibirnya, masih kesal kalau ingat Hanif tak bisa ditelepon saat ia membutuhkan.

"Iya-iya, Bun. Ayah kan sudah minta maaf. Insya Allah nanti kalau Bunda telepon, langsung kuangkat," balas laki-laki yang memakai pakaian dinas khaki itu.

Sita memandangi kepergian suami dan anak-anaknya. Mereka keluarganya. Mereka yang membuat tujuan hidupnya jelas. Akhiratnya, mungkin akan ada bersama mereka.  

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang