10. Tekad

238 36 4
                                    

Hanif membuka lemari kecil tempat menyimpan barang-barang berharga. Ia mengambil tas koper berisi uang di dalamnya. Setelah membuka tas itu, dan melihat isinya, ia menyentuh lembaran uang berwarna merah itu sepenuh perasaan.

Jumlah uang itu bahkan lebih banyak dari uang yang dijanjikan orang yang menemuinya sebulan lalu. Dengan uang itu mungkin ia bisa mendapatkan hal yang menjadi impian pegawai senior yang tak kunjung mendapat promosi seperti dirinya. Mungkin ia bisa mengejar karier sebagaimana yang didapatkan kawan-kawannya. Mungkin ia bisa hidup lebih enak.

Namun ...

Pintu kamar terbuka. Sita masuk dan langsung menatapnya curiga. Istrinya memang suka menaruh syak, sebelum benar-benar mendapatkan bukti yang dipercayainya. Konon, rasa tidak percayanya itu tumbuh seiring dengan kakak-kakaknya yang suka membohonginya. Ia anak yang paling kecil dan perempuan sendiri, selalu disayangi oleh Ayah dan Ibu. Karena itu kalau kakak-kakaknya mengajaknya pergi ke sawah atau tambak, pasti dimarahi orang tua mereka. Jadi, kelima kakak Sita suka mengendap-endap meninggalkannya sendirian di rumah. Makanya ia suka mencurigai setiap gerak-gerik kakaknya, khawatir ia ditinggal bermain ke tempat-tempat yang asyik bagi mereka.

"Eh, ini aku lihat-lihat. Sepertinya masih utuh," kata Hanif salah tingkah.

"Ya masih utuh. Aku nggak mau ngambil uang nggak jelas macam itu. Takut ah ... Jangan-jangan uang hasil kejahatan." Sita bergidik membayangkan yang tidak-tidak. "Makanya Yah, laporkan ke polisi aja lah," imbuhnya.

Hanif menutup tas koper itu, dan mengembalikannya ke tempat semula.

"Bunda yakin mau ngelaporin ini sekarang? Bagaimana kalau orangnya kembali? Lagi pula kita jawab apa kalau ditanya polisi," kata Hanif bimbang.

"Ini sudah lima hari lho, Yah. Orang macam apa yang nggak peduli sama uangnya sendiri. Kalau polisi tanya ya kita jawab apa adanya," balas Sita.

Sita memicingkan mata kepada suaminya. "Lama-lama Bunda makin curiga, deh. Itu beneran bukan uang suap?"

"Aduh, mulai lagi, deh," kata Hanif mulai tak sabar.

"Habis Ayah gitu, sih. Nggak jelas banget," ucap Sita seraya membuka lemari baju dan mencari daster tidur kesayangannya.

Hanif menatap aktivitas istrinya mencari-cari sesuatu hingga ke tingkat lemari paling bawah.

"Begini lho, Bunda sayang. Yang pertama, ini uang banyak banget. Jadi nggak mungkin yang punya tidak mencari kalau dia sadar uangnya tidak sampai pada tempat yang dituju. Kedua, uang ini dikirim secara tunai. Zaman sekarang lebih mudah ditransfer, kan? Pasti orangnya lagi butuh uang tunai. Kalau tiba-tiba orangnya ke sini, lalu nggak mendapati uangnya, kan kasihan," kata Hanif menjelaskan alasannya.

"Ayah itu terlalu husnuzan," balas Sita tak setuju. "Bagaimana kalau ternyata uang itu milik penjahat? Lalu kita jadi terjebak dalam transaksi kejahatan?" lanjutnya, masih sambil berusaha menemukan daster berwarna krem kesukaannya.

"Itu akibat Bunda suka nonton film kriminal," ledek Hanif.

Sita mendengkus. "Ya salahin itu mas-masku yang suka ngajakin adiknya nonton yang gitu-gitu," katanya. Ia terlonjak gembira karena mendapatkan dasternya ternyata berada di tumpukan tengah.

"Pokoknya, kalau dua hari lagi Ayah nggak nemuin orang yang ngasih koper, kita laporin aja ke polisi. Bunda nggak mau dosa kalau nanti tergoda buat makai uangnya, padahal bukan hak kita."

Hanif mengacungkan jempol kepada istrinya.

"Mau ke mana, Bun?" tanya Hanif, saat melihat Sita membawa dasternya ke kamar mandi.

"Ganti baju tidur lah," jawab Sita sebelum menutup pintu kamar mandi.

Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Biasanya kan ganti baju di depannya, kenapa sekarang harus ganti di kamar mandi? Jangan-jangan itu kode. Kode kalau ia tidak boleh pegang-pegang.

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang