11. Berubah

214 36 4
                                    

"Bun, bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bun, bangun. Sudah subuh." Hanif membangunkan Sita yang tidurnya sangat nyenyak.

Azan subuh dari musala peninggalan Ayah Sita terdengar merdu. Membuat Sita langsung membuka mata, meskipun masih tak bisa menahan kuapnya.

"Ayah bangunin anak-anak dulu, ya," kata Hanif yang sudah memakai sarung dan baju koko.

Sita terdiam saat menatap punggung suaminya yang telah sampai pintu kamar. Tiba-tiba ada yang terasa berbeda. Tapi apa?

Hanif biasa salat subuh di musala, begitu pun anak-anaknya. Kadang Hanif pun membangunkan Sita atau sebaliknya, tergantung siapa yang bangun terlebih dulu.

Membangunkan anak-anak? Biasanya itu dilakukan Sita.

Mata Sita mengerjap-ngerjap karena baru sadar apa yang berbeda dari suaminya. Lantas ia tersenyum dan bangun dengan lebih semangat.

Hanif dan anak-anaknya sudah ke musala, saat ia baru mengambil wudu dan mengenakan mukena. Di musala, sang muazin masih memperdengarkan puji-pujian pengantar ikamah. Sita bergegas memenuhi panggilan Tuhannya.

Ternyata bukan hanya itu yang berbeda dari Hanif. Sebelum berangkat ke kantor, suami Sita itu menggenggam tangan istrinya.

"Bunda, Ayah janji akan lebih rajin mencari tahu soal pengirim koper itu. Janji, kalau satu minggu tak kunjung kita temukan pemiliknya, kita lapor polisi," katanya.

Sita hanya mengangguk. Masih meraba-raba apa yang menyebabkan perubahan sikap suaminya.

"Hati-hati di rumah, ya. Asalamualaikum," pesan Hanif saat berangkat kantor saat pagi baru menunjukkan pukul enam. Sebab itu, hari ini adalah tugas Sita mengantar anak-anak berangkat ke sekolah.

**

Sita sudah akan membalikkan motor maticnya saat mobil merah Nisa menjajarinya. Nisa membuka jendela mobil dan menyapanya.

"Mau sarapan dulu sama aku?" tanya Nisa menawarkan.

Sita sangat yakin akan menjawab tidak, tetapi Nisa sudah mendahului berkata, "Aku mau curhat."

Sita melongo. Mereka bukan kawan dekat, bahkan bermusuhan walau tak kentara jika dilihat dari luar. Namun Sita tahu, karena hatinya merasakan, Nisa juga tidak menyukainya.

"Ayolah, hanya kamu teman akrabku di sini," mohon Nisa, membuat Sita semakin melongo. Teman akrab tentu saja bukan definisi yang benar untuk mengartikan hubungan mereka. Namun Sita menyerah. Mungkin ia baik memang orang baik. Atau sebenarnya ia hanya kepo, apa yang bisa membuat Nisa yang hebat itu galau.

"Baiklah." Itulah yang akhirnya diucapkan Sita.

Nisa mengembuskan napas lega. Dengan tersenyum manis, ia berkata, "Ikuti aku, ya. Ada warung yang enak buat ngobrol berdua."

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang