26. Pertemuan

277 37 3
                                    

Hanif meneruskan pesan kepada Basith setelah Bos Plontos menyebutkan melalui Whatsapp jam 10 mereka harus bertemu di pinggir hutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hanif meneruskan pesan kepada Basith setelah Bos Plontos menyebutkan melalui Whatsapp jam 10 mereka harus bertemu di pinggir hutan. Ia meminta Basith langsung ke kantor polisi, tidak usah mampir ke rumahnya. Karena ia melihat ada anak punk yang mengawasi rumahnya dari seberang jalan. Mungkin mereka suruhan bos preman. Jadi sebaiknya mereka tidak membuat gerakan mencurigakan.

Suami Sita itu juga menyempatkan diri izin kepada atasannya. Kemudian ia pun menelepon temannya di Dinas Sosial yang menangani anak jalanan. Hanif bersyukur karena temannya bersedia membantu karena selama ini cukup banyak laporan warga berkaitan dengan keberadaan anak-anak itu. Bahkan ia juga berkata akan berkoordinasi dengan Satpol PP.

Hanif juga menceritakan tentang rencana pertemuannya dengan Bos Plontos.

"Sip. Aku akan siapkan tim untuk ke tempatmu," kata Dani, teman Hanif yang bertugas di Dinas Sosial.

"Makasih ya, Dan." Hanif berterima kasih dengan tulus.

"Nggak masalah. Ini juga masalah sosial. Biar anak-anak punk itu lebih terarah di tempat kami," balas Dani lagi.

Cukup sudah koordinasi Hanif dengan temannya. Ia bersyukur karena teman masa prajabatannya sudah banyak yang menjadi pejabat. Itu memudahkan komunikasinya. Walau sampai sekarang ia masih menjadi staf saat golongannya sudah IIId, itu tidak masalah baginya. Rezeki orang berbeda.

"Bunda pokoknya ikut!" Suara Sita dari belakangnya, membuat Hanif menoleh. Tadi mereka sudah bertengkar gara-gara keinginan Sita untuk ikut ketemu bos preman. Namun menurut Hanif, itu bisa jadi berbahaya. Karena itu ia meminta istrinya di rumah saja.

"Bunda nggak mau di rumah. Nunggu. Cemas. Mending Bunda tahu apa yang terjadi. Pokoknya kalau ada apa-apa Bunda siap menghadapi. Itu lebih baik dari pada nggak tahu apa-apa," dalih Sita.

Hanif mengembuskan napas. Ia tahu tidak akan bisa mencegah istrinya lagi.

"Baiklah. Tapi Bunda harus hati-hati. Nanti kalau ketemu penjahat itu, Bunda harus selalu di belakang Ayah," ucap Hanif tegas.

Istrinya yang kali ini mengenakan celana hitam, kaos muslimah ungu, dan jilbab ungu, mengangguk dengan sangat siap.

Kemudian Hanif menyiapkan koper berisi uang yang sebenarnya jumlahnya tidak ada satu miliar. Entah dari mana Basith mendapatkan uang itu. Harap-harap cemas ia berdoa semoga semua berjalan lancar. Semoga penjahat yang membawa anaknya bisa mereka perdaya. Semoga Polisi, Dinas Sosial dan Satpol PP bisa datang tepat waktu. Semoga Farras dan Adiba selamat.

Lantas Hanif mengajak istrinya berangkat. Sekarang sudah jam sembilan pagi. Tiba tepat waktu mungkin akan lebih baik.

"Tolong kalian di rumah, ya. Bekerja seperti biasa. Doakan kami, agar Farras dan Adiba pulang dengan selamat," pinta Sita pada Arum dan pegawai lainnya, sebelum ia berangkat.

"Oh ya, kalau ada apa-apa, langsung hubungi kami, ya," kata Sita, yang diangguki oleh Arum.

Sita mengikuti Hanif yang telah mengeluarkan mobilnya dengan langkah lebar dan hati berdebar-debar. Begini rasanya kehilangan anak-anak. Sampai-sampai ia berjanji dalam hati, setelah ini ia akan lebih mendengarkan anak-anaknya. Ia tidak akan memaksakan keinginannya pada mereka berdua. Yang penting anak-anak itu ada bersamanya, bisa bercanda dan berbagi tentang apa saja.

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang