1. Panas Hati

688 77 23
                                    

Setelah 15 tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah 15 tahun.

"Gimana tadi tesnya? Lulus?" tanya Sita sembari tetap sibuk dengan android di tangan dan catatan di meja kerjanya. Hari ini banyak sekali pesanan jilbab yang harus segera ia kirimkan. Ia perlu mengecek beberapa hal, sebelum memerintahkan kepada pegawainya untuk mengepak pesanan-pesanan pelanggan toko onlinenya.

"Nggak, Bun. Sampai Suroh Nun aja aku sudah nggak lancar. Suroh belakang-belakangnya lebih hancur, deh," jawab Adiba, anak keduanya yang berusia 10 tahun dengan santai.

"Apa?" Mata Sita membelalak.

"Diba nggak bisa ikut munaqosah, Bunda," jawab Adiba dengan nada sok dewasa.

Sekarang fokus Sita benar-benar teralihkan. Online shopnya bisa menunggu, tetapi masalah anaknya tidak bisa.

"Bunda kemarin kan sudah bilang. Murojaah. Ulang hafalannya. Kamu malah main-main aja sama teman-temanmu. Jadinya begini, kan. Kakakmu dulu kelas IV itu sudah mulai hafalan juz 28. Lah kamu, juz 29 aja nggak lulus-lulus," cerocos Sita. Matanya melotot kepada anak perempuannya itu. Ia kecewa sekali karena ini kali kedua Adiba gagal ikut munaqosah juz 29.

"Diba nggak main-main, Bunda. Diba ke rumah Gani, soalnya teman ayahnya yang dari Mesir datang. Kami belajar Bahasa Arab langsung sama orang sana. Keren kan, Bun?"

Sita mendengkus. Anak keduanya memang selalu menggampangkan permasalahan. Terlalu santai. Padahal Sita punya target-target untuknya. Berbeda sekali dengan kakaknya yang pendiam, hafalannya bagus, dan selalu menduduki ranking tiga besar di sekolah.

"Bun, habis salat asar, aku ke rumah Gani, ya?" kata Adiba meminta izin.

"Mau apa? Belajar Bahasa Arab lagi?" tanya Sita sarkas.

"Kali ini nggak, Bunda. Jadi, di belakang perumahan Gani itu ada padang rumput yang luas. Ada banyak kambing merumput di sana. Kami janjian lihat kambing-kambing itu," jawab Adiba.

"Diba! Kamu itu cewek. Lakukan kegiatan yang lebih bermanfaat buat anak cewek," teriak Sita, karena anak keduanya sudah mengeloyor ke kamarnya.

"Yang Diba lakukan bermanfaat kok, Bun!" teriak Adiba juga, menjawab perkataan Sita.

Perempuan 37 tahun itu mendengkus mendengar balasan anaknya.

"Anak itu, susah banget dibilangin. Lihat kambing? Apa menariknya, sih?" gerutunya kesal.

"Bu, jilbab marun kosong. Padahal ada 10 pesanan," lapor Arum, anak buah kepercayaan Sita, mengembalikan konsentrasinya pada pesanan-pesanan jilbab.

"Coba kamu hubungi Bu Nina. Semoga di sana masih ada," perintah Sita. Nina adalah pemilik konveksi tempatnya kulakan jilbab.

"Baik, Bu," kata Arum patuh.

Sita mendesah dan memegang kepalanya yang terasa pusing. Hari ini membuatnya lelah. Atau tepatnya, gara-gara Adiba, semua terasa melelahkan.

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang