2. Surat Dari Sekolah

437 59 27
                                    

"Ada surat dari Kepala Sekolah Farras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ada surat dari Kepala Sekolah Farras. Kita diundang ke sekolah," lapor Sita pada Hanif, sambil menata makan malam. Sedang Hanif sibuk dengan laptopnya, mengerjakan tugas kantor di meja makan.

"Ada masalah apa?" tanya Hanif tanpa melepaskan pandangannya dari gadget di depannya.

"Ya nggak tahu. Besok kalau kita datang, baru tahu ada permasalahan apa," jawab Sita, seraya meletakkan sepiring tempe mendoan di meja makan, di sebelah sayur sop dan ayam goreng.

Hanif menghentikan aktifitasnya, lalu menatap istrinya dengan tatapan memohon. Dan Sita tahu arti tatapan seperti itu. Jadi ia mendesah dan berkata, "Jangan bilang Ayah nggak bisa memenuhi undangan itu."

"Maaf, Bun. Beneran nggak bisa. Ayah harus pergi dinas luar daerah selama lima hari. Habis subuh Ayah berangkat," ucap Hanif penuh rasa bersalah.

Perempuan yang sudah lima belas tahun menjadi istri Hanif itu menghela napas. Selalu begitu. "Urusan anak-anak itu bukan urusan Bunda saja," katanya.

"Ayah tahu, itu urusan kita berdua. Tapi Bunda kan tahu, Ayah nggak bisa menolak tugas dinas. Lagi pula Ayah percaya, Bunda bisa handle urusan ini," balas lelaki yang di rambutnya sudah muncul beberapa uban di usianya yang ke-40 itu.

Sita ingin sekali membantah lagi, tetapi ia tahu tak akan ada kata sepakat di antara mereka. Sehidup sesurga, apa hanya sebatas ini? Impiannya dulu saat bersedia menikah dengan lelaki itu, semangatnya dulu ketika menyusun visi misi pernikahan, entah menguap ke mana.

"Anak-anak mana?" suara Hanif membuat Sita sadar dari lamunannya.

"Di kamar," jawab Sita sambil melepas celemek memasaknya. Tanda kalau makan malam sudah siap.

"Biar Ayah yang manggil mereka," ucap Hanif sembari tersenyum. Sita tahu, tindakan itu dilakukan Hanif untuk mengurangi rasa bersalahnya. Walau sebenarnya bagi Sita, itu belum cukup. Ia ingin keterlibatan Hanif pada urusan anak-anak lebih dari ini.

Apa dirinya berlebihan?

Suasana hati Sita yang sedang mendung, juga memengaruhi suasana makan malam keluarga itu. Hingga komentar Adiba setelah makan mencairkan suasana.

"Ah, mantap," ucap Adiba menirukan jargon yang lagi populer di mana-mana itu. Kemudian Hanif tertawa dan Farras mengacak rambut adiknya.

Sedang Sita melotot ke arah anak bungsunya, dan langsung dibalas dengan permintaan maaf, "Hehehe ... Maaf, Bun. Habis, masakan Bunda enak banget."

"Iya, tapi mbok bilang alhamdulillah. Bukannya malah seperti itu," kata Sita mengingatkan.

"Dengerin Bunda, tuh," kata Hanif dengan tersenyum.

"Iya, Yah," balas Adiba masih dengan cengengesan.

Keluarganya baik-baik saja.

Walau begitu, kenapa masih ada sesuatu yang mengganjal di hati Sita? Apa ia hanya kurang bersyukur?

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang