21. Di mana Farras?

186 31 1
                                    

Sepanjang hari setelah bertemu Nisa, Sita merasa lebih lega. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ia bisa melepaskan perasaan sakit hatinya. Kesalahpahaman itu memang begitu menggerogoti jiwa. Ia lega karena Nisa mengungkapkan perasaannya. Sita mencoba memahami bahwa ternyata dari sisi Nisa juga sama tak mudahnya. Dulu mereka masih remaja. Ada keinginan-keinginan, ada persaingan, ada ketidakdewasaan. Namun sekarang, karena telah memaafkan, hati Sita terasa lebih ringan.

Kemudian ia pun kembali disibukkan dengan bisnis onlinenya. Dan rasanya ia bisa menghadapi pelanggan dengan lebih bahagia. Biar pun para pembeli online itu banyak maunya, ia bisa dengan sabar melayani mereka.

Adiba masih dihukum tidak boleh main dengan teman-temannya sepulang sekolah. Bocah itu cenderung tenang, tak membuat masalah sedikit pun, meskipun terkungkung di dalam rumah. Mungkin karena ia sudah mulai terbiasa.

Namun rupanya ketenangan itu tak berlangsung lama. Farras tak kunjung pulang, meskipun sudah pukul 17.00 sore.

Biasanya Farras sampai rumah jam 16.30. Kalau pun lebih, hanya sedikit saja. Seingat Sita, hanya sekali Farras telat, hingga membuat Sita menunggu dengan gelisah di teras rumah.

"Kemana anak itu?" batin Sita.

Tiba-tiba saja Farras yang berkelahi dengan preman terbayang di pelupuk mata Sita. Bagaimana kalau terjadi lagi?

Tadi pagi Sita menanyai Farras berkali-kali, apakah yakin tetap pergi ke sekolah dengan lebam yang belum hilang? Dan anak sulungnya tetap bertekad masuk sekolah. Walaupun berat, Sita mengizinkan Farras ke sekolah.

Bagaimana kalau preman-preman kemarin mengincar Farras? Atau mungkin Riko yang diincar. Namun Farras melibatkan diri lagi.

"Ya Allah, lindungi anakku," mohon Sita dalam hati, sambil berkali-kali melongok ke jalanan. Berharap anaknya segera muncul.

"Kak Farras belum pulang juga, Bun?" tanya Adiba yang tiba-tiba muncul dan ikut duduk bersama Sita di teras.

"Belum," jawab Sita pendek.

"Bunda khawatir, ya?" tanya Adiba.

Sita menatap anaknya yang terlihat peduli itu. "Tentu saja. Sama seperti kalau Diba nggak pulang padahal hari sudah sore. Bunda pasti khawatir."

"Maaf ya, Bun," ucap Adiba tulus, dan mau tak mau membuat Sita merasa terharu.

"Yang penting kamu mau memperbaikinya. Bunda sebenarnya nggak masalah Diba main sama Gani dan Humam. Tapi Bunda harap, Diba tahu waktu, tidak ke tempat berbahaya, dan tetap ingat tanggung jawabnya," kata Sita menjelaskan, selagi momennya terasa tepat.

"Iya, Bun," jawab anak bungsu Sita pendek.

Lalu mereka sama-sama diam. Sita gelisah di kursinya. Kadang ia berdiri sambil menengok jalan, kadang meremas-meremas tangan, lalu duduk lagi.

"Bun, telepon temannya saja," saran Adiba setelah beberapa waktu.

Sita menatap anak perempuannya. Terkadang gadis kecil itu bisa memberikan ide yang masuk akal. Belum lagi memutuskan apa yang harus dilakukan, Hanif membelokkan mobilnya ke halaman, dan langsung memasukkannya ke garasi.

"Ayah malah sudah pulang duluan," kata Adiba tak ditujukan pada siapa pun, karena bundanya juga sudah tahu kedatangan Ayah dengan LGX Tahun 1999-nya.

Sita dan Adiba menghampiri Hanif yang baru turun dari mobilnya.

"Farras belum pulang, Yah," kata Sita cemas.

Hanif melihat jam di tangannya. Pukul 17.30. "Sudah telepon teman-temannya?"

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang