12. Kecewa dan Syukur

266 38 4
                                    

Kadangkala, rasa capek itu bukan disebabkan banyaknya pekerjaan, tetapi suasana hati yang buruk. Karena hari ini sejak bangun pagi Sita sudah merasa bahagia, ia pun menjalani hari dengan riang gembira. Bahkan melihat Farras yang masih bergaul dengan anak punk, tak mengalahkan rasa senangnya melihat Hanif yang mulai perhatian pada anak-anak. Mendengarkan curhatan Nisa, orang yang tak disukainya, juga tak menjadi masalah baginya.

Lalu saat pesanan membludak, ia pun tetap bersemangat. Sampai-sampai ia harus mengambil jilbab lagi ke rumah Nina yang ada di kecamatan lain. Itu semua sama sekali bukan masalah. Karena pusat masalah Sita sebenarnya adalah Hanif, suaminya. Jadi, kalau Hanif mulai bersikap seperti harapan Sita, maka semua baik-baik saja baginya.

Namun, itulah masalahnya. Ekspektasi yang berlebihan, bisa membuat semuanya berantakan.

Jadi, setelah dari rumah Nina, Sita melihat Hanif di depan rumah makan bersama dua orang dengan pakaian hitam-hitam. Berkacamata hitam pula. Sita bersorak dalam hati. Permasalahan yang mengganggu tidurnya akan terselesaikan. Uang yang membuatnya kepikiran, karena berada di tangannya padahal bukan haknya, akan segera kembali ke pemiliknya.

Sita pun pulang dengan hati gembira.

Namun rupanya Sita salah. Saat Hanif pulang sore harinya, ia membantah telah bertemu dengan orang yang mengantar uang dalam koper.

Hanif bahkan sampai mengernyitkan dahi, akibat berpikir terlalu serius. "Nggak kok, Bun. Ayah belum ketemu orang itu," katanya setelah berpikir agak lama.

"Ayah jangan bohong, dong. Tadi Bunda lihat Ayah di rumah makan pojok yang terkenal itu. Ayah sama dua orang itu. Perawakan mereka sama. Kalau bukan mereka, terus siapa?" kata Sita keras kepala, karena merasa yakin.

"Bunda, tadi Ayah memang ke rumah makan itu. Tapi untuk bertemu rekanan yang mau ngerjain proyek di kecamatan sebelah," bantah Hanif.

"Tadi sama atasanku juga. Mungkin pas Bunda lihat, atasanku lagi ke kamar mandi," tambah Hanif dengan sabar, karena istrinya terus menatapnya tak percaya.

"Ayah yang serius, dong. Bunda sudah merasa lega, nih. Karena Bunda pikir sudah bisa melepas beban. Uang itu bikin Bunda kepikiran terus," rajuk Sita, seraya menghempaskan tubuhnya di kursi tamu.

Hanif yang masih memakai seragam kerjanya, yang hari ini putih hitam, meletakkan tas kerja di atas meja. Lalu duduk di sofa panjang, di sebelah istrinya.

Sita melirik suaminya, lalu melempar pandangannya ke tempat lain. Ia sudah hampir marah lagi pada Hanif, jika Adiba tidak datang dari arah pintu.

"Ayah, Bunda! Lihat, nih. Diba dapat kersen banyak," katanya seraya menunjukkan buah kersen satu kantung plastik kecil.

"Wah, dari mana itu?" tanya Hanif dengan senyum tersungging.

"Dari tepi hutan, Yah. Tadi Diba ke sana sama Gani, sama Humam juga," jawab Adiba bangga.

"Hah? Kamu jangan main jauh-jauh, Diba! Kalau ada apa-apa gimana?" Sita menjadi berang dengan kebandelan anak perempuannya.

Adiba cemberut. "Bunda sukanya gitu tuh, Yah. Sedikit-sedikit marah."

Sita mendengkus mendengar aduan anaknya kepada Hanif.

Suami Sita tersenyum, dan memanggil anak perempuannya mendekat. Kemudian ia membelai kepala Adiba yang tertutup jilbab. "Bunda itu khawatir. Bisa saja kamu ketemu bahaya di jalan. Jatuh dari sepeda, atau ketemu orang jahat."

Adiba mengangguk-angguk. "Tadi tuh, di pinggir hutan, Diba malah ketemu temannya Kak Farras. Yang biasanya ketemu di depan sekolah itu. Yang suka pakai tindik di telinga. Dia tahu loh, kalau Diba adiknya Kak Farras. Terus Kak Riko bantuin kita ambil kersen. Makanya nih dapat banyak."

Mata Sita langsung melotot. "Dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?" tanyanya cemas.

Adiba menatap ibunya, merasa aneh. "Kak Riko bantuin ambil kersen aja, kok. Dia baik," jawabnya.

"Adiba, sekarang kamu nggak boleh main-main ke luar lagi. Di rumah aja. Murojaah. Ulang hafalanmu, biar cepet ikut munaqosah!" Refleks saja berbagai larangan dan perintah itu keluar dari mulut Sita. Ia tidak mau anaknya berada dalam bahaya.

Adiba kembali cemberut dan menatap ayahnya, memohon. "Yah, bilangin Bunda, dong. Adiba itu selalu belajar sama Gani dan Humam. Setelah itu, kita baru main. Beneran."

Hanif mengembuskan napas. "Sementara ini nurut Bunda, ya. Sampai Bunda merasa semua aman, nanti boleh main-main ke luar lagi," katanya. "Sekarang, mandi dulu, ya," lanjutnya.

Anak perempuan berjilbab biru itu pun mengangguk, walaupun terlihat terpaksa.

"Ayah tuh manjain Diba. Jadinya gitu kan, dibilangin nggak nurut," omel Sita setelah anaknya masuk kamarnya sendiri.

Hanif mendesah lelah. "Ayah mandi dulu, ya. Nanti kita lanjutin obrolan kita."

Lantas Hanif pun masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Ia tidak ingin berbicara sekarang saat istrinya sedang emosi, dan ia sendiri merasa lelah. Nanti jika sudah merasa segar, mungkin ia bisa memikirkan solusi terbaik yang bisa diterima istrinya.

Sementara Sita mengikuti langkah suaminya melalui matanya yang menyiratkan kekecewaan. Satu masalah belum selesai, kenapa bertambah lagi?

**

Malam harinya, Sita tidak mengeluarkan suara sedikit pun saat makan malam. Ia sedang tidak ingin berpikir apa pun. Ia juga tidak ingin marah-marah. Walaupun sebenarnya ia sangat ingin marah. Ia punya alasan untuk itu.

Hanif yang tak kunjung menunjukkan keseriusannya menyelesaikan permasalahan uang dalam koper. Farras yang masih berhubungan dengan anak punk. Adiba yang suka sekali keluyuran dan tak kunjung memperbanyak hafalan.

Rencana-rencana yang sudah ia susun bersama suaminya dulu, seolah hanya ia yang memperjuangkannya. Pagi ini kelihatannya Hanif sudah menunjukkan iktikad baik untuk berubah, tetapi ternyata sore hari sudah kembali lagi ke sikapnya yang awal.

Atau aku yang terlampau tak sabar? Sita membatin.

Anak-anaknya sepertinya juga hafal dengan sikapnya yang seperti kali ini. Tak ada yang mengajaknya bicara. Biar saja.

Dalam hal ini kalau dibilang ia kekanakan, ia tidak akan membela diri. Dari dulu begitu. Ia akan diam saja kalau merajuk. Sampai orang tua atau kakak-kakaknya merayu agar ia kembali cerewet dan tertawa.

Satu per satu anaknya masuk kamar setelah selesai makan. Hanif mengantar mereka ke kamar masing-masing, agak lama. Entah apa yang dibicarakan dengan anak-anak. Biarlah. Ia akan membiarkan Hanif mengambil peran, dan memang seharusnya begitu.

Sita mencuci piring sambil melamun, hingga ia dikagetkan sentuhan dari belakangnya. Refleks, ia menonjok dengan sikunya.

"Aw." Suara Hanif mengerang.

Sita menoleh dan melihat Hanif yang memegangi perutnya. Ia mencuci tangannya dengan air, membersihkan dari sisa-sisa sabun. Lalu memeriksa keadaan suaminya.

"Sudah tahu Bunda nggak bisa dikagetin," cetus Sita khawatir.

"Lupa. Tadinya mau ngasih back hug gitu. Biar kayak di film-film," kata Hanif sambil meringis.

Sita menaikkan kaos Hanif untuk melihat perutnya. Ada tanda kemerahan di sana. Pasti tadi ia menyikut dengan keras.

"Ayo, Bunda kasih salep," kata Sita dan langsung menuju tempat obat-obatan.

"Di kamar aja ya, ngasih obatnya," usul Hanif yang langsung diiyakan oleh istrinya.

Kita tak perlu menyesali apa pun pemberian Tuhan, baik atau buruk. Terkadang, hal yang menyakitkan pun bisa jadi berkah. Seperti saat ini, Hanif rela jika harus kena sikutan istrinya, asal ia bisa berbaikan dengan istrinya lagi. Kemudian melihat senyum istrinya. Lalu membuat istrinya bahagia.

Hanif berjanji dalam hati, akan menyelesaikan permasalahan satu per satu.

Sudah lima belas tahun, tetapi ternyata pernikahan tetap selalu seru untuk diarungi. Bertengkar, berselisih, lalu berbaikan lagi. Begitu berulang-ulang. Namun ia tidak pernah bosan.

Hanif tersenyum saat melihat istrinya yang menunduk, mengusapkan salep dengan hati-hati di perutnya. Itulah istrinya, Rachmeida Sita yang ia cintai.

**

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang