24. Ancaman

223 35 2
                                    

Adiba terus mengayuh sepedanya tanpa kenal lelah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adiba terus mengayuh sepedanya tanpa kenal lelah. Hutan itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya sekitar tiga puluh menit naik sepeda dengan mengebut. Ia baru sekali ke tempat itu, dan langsung mendapat hukuman dari bundanya. Namun ia hafal jalan ke sana. Karena jalan menuju tempat itu sudah sering ia lalui kalau sedang bertualang dengan Gani dan Humam.

Akhirnya Adiba sampai di tepi hutan. Ia melihat sekeliling. Ada jalan setapak di dekat pohon kersen. Ia kembali mengayuh sepedanya. Kali ini dengan pelan.

Tak terlalu jauh dari jalan masuk, terdapat rumah dengan dinding kayu. Adiba tak melihat ada anak punk di sana. Yang tampak malah dua orang preman yang seperti menjaga sesuatu. Duduk di depan pintu masuk, salah satunya sambil memainkan ponsel.

Adiba menaruh sepedanya di semak-semak, lantas berputar ke samping rumah tua dengan mengendap-endap. Ia menengok ke kanan dan kiri, lantas melihat ke depan lagi.

Kelihatannya tidak ada orang lain.

Gadis cilik itu jadi penasaran apa yang ada di dalam rumah tua itu. Sayangnya hanya ada satu pintu, hanya di depan saja, yang dijaga dua orang tadi.

"Orang tuaku pasti akan mencariku!"

Lamat-lamat Adiba mendengar teriakan Farras. Iya, itu suara Farras. Sesaat ia terlonjak gembira.

Lalu terdengar tawa keras dari beberapa orang. Membuat Adiba kembali lemas. Sepertinya ada orang-orang jahat di dalam sana.

"Kamu pikir, aku tidak tahu itu?" kata seseorang dengan kasar.

"Aku akan memanfaatkan kepedulian orang tuamu!" lanjutnya.

Adiba gemetar. Suara itu menggelegar menakutkan. Ia tidak pernah mendengar Ayah atau paman-pamannya berkata sekedas itu.

Apa yang harus ia lakukan? Berpikir ... Berpikir ... Ia anak pintar. Ia anak pemberani. Ia pasti menemukan cara menyelamatkan kakaknya. Adiba terus mengulang kalimat afirmasi itu di hatinya.

Sesuatu melintas di benak gadis kecil itu. "Aku harus memberi tahu Bunda," pikirnya.

Adiba berbalik hendak kembali menuju tempatnya menyembunyikan sepeda.

Duk. Adiba menubruk sesuatu. Sepasang kaki yang besar. Lebih ke atas lagi, kaos hitam melapisi perut gendut seseorang. Adiba menaikkan pandangannya. Seringai yang ia dapatkan dari seorang yang tinggi besar.

Sontak Adiba terjerembab ke belakang. Terlalu kaget dengan seringaian dengan gigi-gigi hitam di depannya. Ia mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Namun orang itu telah meraih kaos belakangnya. Memegangnya seolah memegang ayam saja.

Laki-laki itu mengangkat Adiba dengan mudah dan membawanya ke dalam bangunan rumah.

Adiba memicingkan mata, membiasakan dengan kondisi rumah yang tampak memprihatinkan. Sepertinya rumah ini lama tak ditinggali.

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang