23. Ikhtiar

235 41 5
                                    

Pagi harinya, Sita kembali menengok ke grup WhatsApp wali murid kelas 8

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi harinya, Sita kembali menengok ke grup WhatsApp wali murid kelas 8. Masih tak ada informasi yang berarti. Yang ada malah masukan-masukan dan kritikan tentang bagaimana seharusnya mendidik anak remaja. Membuat Sita semakin pusing saja. Namun itu hanya sebagian kecil. Ada wali murid lain yang kemudian menegur yang seperti itu.

Kalau bukan saat-saat seperti ini, ia pasti menanggapi saran-saran itu. Namun saran paling diperlukan Sita sekarang adalah bagaimana cara agar bisa segera menemukan Farras.

Karena ikut khawatir kakaknya belum juga pulang, Adiba jadi rajin membantu Sita. Saat Sita memasak sarapan, ia membantu mencuci piring tanpa protes sama sekali. Ia tahu bundanya sedang banyak pikiran.

Lalu setelah sarapan yang sederhana, tumis cambah udang dan tempe goreng, Hanif kemudian mengajak Basith ke kantor polisi. Meskipun hari minggu, polisi di Polsek kecamatan mereka melayani dengan baik. Polisi yang ramah itu menanyai kronologi kejadian hilangnya Farras. Ia juga bertanya apakah sudah mencoba mencari ke tempat teman-teman Farras. Semua dijawab oleh Hanif apa adanya.

Setelah polisi itu berjanji akan segera menindaklanjuti laporan, Hanif dan Basith berniat mencari Farras lagi.

"Kita cari Farras lagi, Nif. Kalau siang seperti ini, mungkin kita bisa melihat dengan lebih jelas. Siapa tahu ada yang terlewat gara-gara semalam gelap," kata Basith, saat ia dan Hanif keluar dari kantor polisi menuju mobil Hanif.

"Iya, Mas. Semoga Farras baik-baik saja. Saya sempat khawatir, kalau-kalau Farras tertarik dengan cara hidup anak-anak punk. Tahu sendiri gimana anak remaja itu. Rasa ingin tahunya tinggi," kata Hanif mengimbangi langkah kakak iparnya.

Setelah itu mobil Hanif kembali menembus jalanan kota kecil mereka. Melewati lagi jalan yang semalam sudah mereka lewati, kemudian memperlebar pencarian ke kecamatan sebelah pula. Tempat-tempat yang biasa menjadi tempat nongkrong anak-anak punk yang paling utama mereka datangi. 

"Sita kemarin sempat khawatir juga soal pergaulan Farras, tapi saya yakinkan kalau Farras sudah bisa membedakan benar dan salah. Kalau ada kejadian seperti ini, saya jadi khawatir juga, Mas." Hanif menceritakan isi pikirannya kepada Basith, sambil memperhatikan jalan yang cukup lengang di hari minggu seperti ini.

"Yang penting kamu yang tenang, Nif. Jangan sampai kamu ikut-ikutan panik seperti Sita. Aku yakin Farras bakalan ketemu. Dan aku juga yakin, Farras nggak akan terjerumus ke dalam hal-hal yang bodoh. Dia beda. Cara berpikirnya beda. Tapi bukan sesuatu yang buruk," kata Basith menenangkan.

Entah kenapa kepercayaan Basith pada keponakannya membuat hati Hanif terasa lebih lega. Bagaimana pun itu pendapat orang lain. Pendapatnya bisa jadi kurang obyektif, tetapi kalau orang lain berpendapat baik tentang Farras, rasanya Hanif ikut merasa tenang.

**

Sementara itu di rumah, Sita mulai menyebarkan foto Farras ke berbagai grup WA, disertai caption permintaan tolong untuk memberikan informasi bagi yang melihatnya.

Namun sampai beberapa jam kemudian, setelah ia menyapu, mengepel, memasak, sampai kemudian makan siang dengan Adiba, tak ada informasi yang berarti. Kadang ada temannya yang bertanya bagaimana Farras bisa hilang, tetapi ia memilih tak menjawab. Semua yang perlu dijelaskan sudah disampaikan di foto yang diberikannya.

Ia juga menjawab beberapa orang yang mendoakan semoga Farras cepat ketemu. Namun saat terlalu banyak, ia membiarkannya. Kemudian ia memberikan jawaban ya, waktu ada yang meminta izin menyebarkan informasi tersebut ke grup lain.

Sita mendesah, ia hanya berusaha, semoga semua membuahkan hasil. Kalau bisa sebenarnya ia ingin mencari Farras bersama Hanif, tetapi yang dikatakan Hanif benar. Ada yang harus di rumah untuk menghimpun informasi atau mungkin saja Farras tiba-tiba pulang ke rumah.

Sesekali Hanif menelepon untuk menanyakan kalau mungkin ada informasi baru. Kontak-kontak yang berhubungan dengan sekolah Farras atau pun teman-teman Farras memang lebih banyak dipunyai oleh Sita.

Berkali-kali pula Hanif mengingatkan Sita untuk tenang dan banyak-banyak berzikir, setelah usaha yang mereka lakukan.

"Bunda tiduran aja dulu," usul Adiba yang menyusul Sita menunggu segala hal tentang Farras di ruang tamu, setelah tadi dengan suka rela mencuci piring pasca makan siang.

"Nggak bisa, Nak. Bunda kepikiran kakakmu terus. Kalau kenapa-kenapa, gimana?"

Adiba mengembuskan napas. Dalam keadaan biasa, pasti Sita akan tertawa melihat anaknya yang sok dewasa itu.

"Tapi Bunda pasti capek. Semalam juga nungguin Ayah pulang sampai malam. Tiduran di situ aja, Bunda," kata Adiba penuh perhatian, seraya menunjuk sofa yang semalam juga dipakainya tidur.

Sita mempertimbangkan usul Adiba. Ternyata anak itu tidak hanya bisa main dan keluyuran saja. Saat-saat seperti ini, ternyata ia juga bisa diandalkan. Sita tersenyum tipis untuk anak perempuannya.

"Baiklah, Bunda tidur dulu, ya. Kalau ada apa-apa bangunin Bunda. Ingat, jangan bertindak aneh-aneh," kata Sita mengingatkan anaknya yang suka bertualang itu.

Badan Sita terasa letih, padahal ia tidak melakukan aktivitas berat. Mungkin benar, pikiran mempengaruhi badan. Seperti inilah jadinya. Mungkin Adiba benar, ia sepertinya memang butuh tidur.

Lalu Sita merebahkan diri di sofa, dan dengan cepat ia terlelap. Sementara Adiba menonton Disney di televisi.

Melihat bundanya yang sudah pulas, dan tontonan yang sudah diulang berkali-kali di televisi itu, Adiba jadi merasa bosan.

"Uh, bosan," kata Adiba pada diri sendiri.

"Coba ada mbak-mbak pegawai, mesti aku nggak ngantuk begini," gerutunya lagi. Karena hari minggu, para pegawai Sita memang libur.

Lantas Adiba meraih ponsel Sita, lalu membuka-buka aplikasi yang biasanya diizinkan oleh orang tuanya. YouTube Kids, game cacing, selfie, berganti-ganti ia lakukan. Berpindah-pindah posisi ia lakukan pula. Sampai ia merasa bosan.

Saat ada notifikasi beruntun dari WhatsApp Sita, anak perempuan itu jadi penasaran. "Buka ah," pikirnya.

Lalu Adiba membuka pesan dari beberapa nomor tak bernama. Mereka pasti tahu nomor ponsel Sita dari informasi yang telah tersebar. Adiba membaca pesan satu persatu. Ada yang mengirimkan foto tak jelas, yang Adiba tahu itu bukan Farras. Ada juga yang bertanya, apakah ada kompensasi kalau berhasil menemukan Farras. Adiba mengabaikan semua itu. Walaupun ia baru kelas empat, ia tahu bahwa membantu orang lain dengan mengharap imbalan itu bukanlah hal yang baik.

Mata Adiba membelalak begitu sampai pada pesan paling bawah. Ada yang melihat Farras di tepi hutan bersama anak-anak punk? Adiba tahu tempat itu. Ia pernah mengambil kersen di sana dan bertemu Riko, teman Farras. Jiwa petualang Adiba bergolak.

Kak Farras pasti di sekitar tempat itu.

Adiba melihat bundanya yang masih tidur nyenyak. Kemudian ia memutuskan untuk pergi mencari kakaknya di hutan pinggir desa.

Ia meletakkan ponsel bundanya di tempat semula, lalu ia berlari ke garasi dan mengeluarkan sepeda lipatnya.

Bergegas ia menuju hutan di tepi desa mereka. Ia harus menemukan kakaknya.

**

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang