8. Apakah Harus Percaya

250 36 2
                                    

Saat melihat Nisa yang keluar dari Honda Jazz berwarna merah, Sita sudah ingin kabur saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat melihat Nisa yang keluar dari Honda Jazz berwarna merah, Sita sudah ingin kabur saja. Sita menyesal kenapa tadi tidak buru-buru pulang setelah anak-anaknya turun dari motor. Ia malah menunggu mereka masuk ke arah kelasnya masing-masing.

Salahkan saja Farras yang bertindak mencurigakan. Atau salahkan Hanif, yang belum bisa mengorek informasi soal anak-anak punk dari mulut anak sulungnya. Pokoknya semua salah. Itu membuatnya cemas dan jadi tidak memercayai siapa pun. Padahal itulah masalah Sita. Gampang curiga pada hal kecil sekali pun.

Memikirkan itu malah membuat Sita kembali mengingat Nisa yang saat ini sedang berjalan menghampirinya. Dan dengan gaya anggunnya memberi salam pada Sita, lalu bercerita dengan semangat 45.

"Eh, kemarin sore aku lihat anak lelakimu di halte bus, lho. Lama banget di situ, kayak nungguin sesuatu," lapor Nisa tanpa diminta.

Informasi itu, mau tidak mau membuat jantung Sita langsung ingin melompat. Ia ingat kemarin anak lelakinya terlambat pulang sekolah. Namun ia berusaha menyembunyikan kepanikannya, dan bertanya, "Kok kamu tahu?"

"Aku lagi beli lauk buat makan malam di warung depan halte. Kamu tahu kan, kalau di sana itu selalu ngantre. Jadi aku punya waktu buat perhatiin sekitar," jelas Nisa panjang lebar.

"Mungkin itu bukan Farras," kata Sita tak yakin dengan kata-katanya sendiri.

"Dua anak yang kamu bonceng tadi anakmu, kan? Memang dia, kok. Namanya Farras, ya? Bagus namanya. Artinya, tajam pikirannya, kan?" tanya Nisa sambil menatap Sita.

Sita mengangguk.

"Pasti dia sama pintarnya kayak kamu dulu," kata Nisa lagi.

"Alhamdulillah," jawab Sita pendek.

"Tapi kamu harus benar-benar memperhatikan anak remajamu itu. Ngapain dia di halte lama-lama, kan? Aku lihat tiap ada bus, dia nggak kunjung naik. Baru bus yang datangnya hampir jam lima itu dia mau naik. Aneh, kan?" kata Nisa memberikan pendapat. Tatapannya tajam ke arah Sita, seolah mencari apa yang ada dalam pikiran Sita setelah menerima informasi darinya.

"Terima kasih infonya, ya," jawab Sita pendek. Padahal di sisi lain ia juga kesal dengan Nisa. Di telinga Sita, informasi Nisa soal Farras seperti peringatan, bahwa ia akan menunggu kehancuran Sita.

Uh, Sita benci hatinya yang menyimpan suuzan.

"Ya sudah, aku cuma mau ngasih tahu itu. Pokoknya kamu harus hati-hati ngadepin anak remaja. Jangan sampai mereka jauh dari pengawasanmu," pesan Nisa sebelum berbalik. Gamis dan jilbab syarinya berkibar-kibar diterpa angin.

Sita masih menatap teman saat Madrasah Aliyah itu memasuki mobil merahnya. Ia selalu merasa merah itu cocok dengan Nisa. Percaya diri, suka jadi pusat perhatian, pandai bergaul, dan egois. Yah, setidaknya begitulah pandangan Sita soal Nisa.

Dulu di kelas satu Madrasah Aliyah, sebenarnya Sita dan Nisa cukup akrab. Mereka satu kelas di sekolah, dan kamar mereka di pondok bersebelahan. Karena sama-sama pintar, mereka juga sering diskusi soal pelajaran.

Sampai suatu kali, Nisa mengagetkan Sita yang sedang menjemur pakaian. Tentu saja siku Sita beraksi. Ia menyikut Nisa sampai temannya itu jatuh ke tanah. Pasti sakit. Karena kakak-kakaknya yang laki-laki saja bilang sakit. Walaupun mereka tetap saja mengusilinya sebagai adik bungsu dan perempuan satu-satunya.

Sita yang merasa bersalah, meminta maaf berkali-kali. Ia juga bercerita kalau ia memang punya kebiasaan buruk kalau kaget atau panik.

Sayangnya cerita tentang kebiasaannya menyikut itu beredar di pondok, lalu anak-anak lain jadi takut dekat dengannya. Dan Sita yakin, kalau hal itu gara-gara cerita Nisa yang menceritakan kejadian yang menimpanya dengan cara yang menyeramkan. Walau kemudian Sita bisa meluruskan kejadian sebenarnya, tetapi ia jadi segan akrab dengan Nisa lagi.

Sita mendesah. Ah, padahal periatiwa itu sudah dua puluhan tahun berlalu. Namun ia selalu tak nyaman kala mengingatnya. Mungkinkah ia masih belum memaafkan Nisa? Atau mungkin karena peristiwa lain yang juga berhubungan dengan Nisa, juga berpengaruh?

Sita mendesah lagi, lantas beristigfar. Ia ingat harus segera mengurusi olshop-nya, menjemput rezeki yang halal.

**

"Ayah sudah coba pendekatan ke Farras? Bunda makin khawatir soal dia," kata Sita pada malam hari. Seperti biasanya, pillow talk dulu sebelum tidur.

"Yang kemarin belum selesai?" Hanif justru balik bertanya.

"Ayah gimana, sih?" Sita menatap Hanif kesal. "Bunda tuh maunya Ayah bicara ke Farras sebagai sesama lelaki gitu, lho. Kalau Bunda yang ngomong, bawaannya pengen marah aja. Farrasnya juga jadi menghindar."

"Kirain yang kemarin sudah. Ayah kan sudah ngomong ke dia kalau dia harus bisa menjaga kepercayaan kita. Ayah minta dia nurut sama Bunda," jelas suami Sita itu, yang langsung membuat istrinya tambah kesal.

"Laki-laki itu memang suka menyepelekan keadaan," kata Sita seraya menutupkan selimut ke kepalanya, lalu membukanya lagi.

"Kemarin itu Farras pulang telat. Terus, tadi Nisa cerita kalau dia lihat Farras berdiam diri di halte lama, seperti nungguin sesuatu, tapi yang ditunggu nggak datang-datang." Sita memberikan informasi yang didapatnya dari Nisa kepada Hanif.

"Oh, kamu sekarang jadi akrab sama Nisa?" Pertanyaan Hanif membuat Sita mendelik.

"Ayah tuh kalau diajak ngobrol suka nggak nyambung, deh. Kita kan ngobrolin Farras, kok jadi Nisa?" protes Sita kesal.

"Lha tadi kamu cerita soal Nisa juga, kan?" tanya Hanif yang masih tidak menyadari letak kesalahannya.

"Ah, sebel, deh." Sita menutupkan selimut ke kepalanya lagi.

Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya deh. Maafin, Ayah. Besok Ayah bicara lagi dengan Farras," katanya seraya menarik selimut dari kepala istrinya dengan sangat hati-hati. Ini sebuah keterampilan yang dipelajarinya selama 15 tahun. Jangan sampai membuat istrinya kaget atau panik. Kalaupun nanti istrinya panik, ia sudah punya cara untuk menaklukkannya.

Sementara itu Sita yang sudah mendengar janji Hanif, langsung membuka selimut. "Awas kalau nggak!" katanya galak.

Sekarang Hanif yang terlonjak kaget, dan mengelus-mengelus dadanya. "Bunda bikin kaget aja."

"Soal uang di koper gimana?" tanya Sita tak memedulikan protes Hanif.

"Ya tunggu sampai Ayah menemukan orang yang ngasih itu," jawab Hanif santai.

Sita memicingkan mata ke arah Hanif yang masih duduk di sebelahnya dengan tangan melingkari tubuh Sita yang berbaring. "Ayah serius nyariin orang itu, kan?"

"Bunda sayang, berapa kali Ayah harus bilang kalau Ayah serius. Mencari orang yang identitasnya nggak jelas kan nggak mudah. Apalagi Ayah juga ada kerjaan lain, nggak bisa fokus ke nyari orang aja," kata Hanif dengan sabar.

"Pokoknya Bunda nggak bakalan rela kalau Ayah menerima uang yang aneh-aneh, yang nggak jelas halal haramnya."

"Siap, Sayangku. Ayah juga nggak mau kehilangan keberkahan gara-gara sesuatu yang haram," kata Hanif yakin.

Sita mengembuskan napas lega. Walau mungkin besok-besok ia akan mempertanyakan komitmen Hanif lagi. Semoga suaminya tidak bosan kalau ia terus mengingatkannya tentang hal itu.

"Ya sudah, sekarang tidur," kata Sita lirih.

"Tidur saja?" tanya Hanif dengan maksud menggoda.

"Memangnya mau ngapain?" kata Sita pura-pura tak tahu maksud suaminya. Sudah 15 tahun, tetapi gurauan yang sama tidak pernah membuat mereka bosan.

Kalau sudah begitu, Hanif akan menggelitiki Sita dan membuat mereka tertawa bersama.

**


Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang