15. Konfirmasi

233 35 4
                                    

Farras percaya pada Riko, tetapi belum tentu dengan teman-teman Riko yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Farras percaya pada Riko, tetapi belum tentu dengan teman-teman Riko yang lain. Ia mengerti kekhawatiran bundanya. Jadi hari ini ia berjanji untuk menanyakan masalah dua anak punk yang datang ke rumahnya dengan mengendap-endap, saat dirinya masih di sekolah.

"Kalau bukunya sudah selesai dibaca, bilang saja. Nanti aku bawakan buku yang lain," kata Farras saat bertemu Riko, keesokan harinya.

"Seru bukunya. Tiga ratus halaman, tiga hari kayaknya selesai lah," kata Riko tertawa bahagia.

"Mantap, Bro." Farras mengacungkan jempol.

Setelah kejadian pemalakan yang gagal oleh empat orang temannya, entah bagaimana Farras menjadi akrab dengan Riko. Dulu seringkali teman-teman Riko ikut ngobrol bareng mereka berdua. Farras tahu dari obrolan itu, kenapa anak-anak punk itu melarikan diri dari keluarganya. Macam-macam masalah mereka. Ada yang seperti Riko, orang tuanya tak akur. Ada yang orang tuanya bercerai, kemudian tak memperhatikan mereka lagi. Ada pula yang pergi karena mereka sering bertengkar dengan orang tuanya.

Sebisa mungkin Farras tidak menghakimi mereka. Hanya saja, terkadang Farras mengingatkan mereka untuk salat, karena kebetulan mereka semua seorang Muslim. Riko adalah satu-satunya yang mau mengikuti anjuran Farras. Katanya dulu neneknya selalu mengajaknya ke musala, sebelum beliau meninggal dunia. Yang lainnya, kadang ikut salat di musala dekat pasar, di tengah pandangan menuduh orang-orang. Hanya karena mereka takut pada Riko yang mulai kembali menjalankan ibadah salat. Namun, kemudian mereka bosan.

Farras memperhatikan dua anak punk di pojokan toko dekat halte, yang berbagi makan siang mereka. Itu salah satu kelebihan mereka, setia kawan. Mereka berdua termasuk anak-anak yang akrab dengan Riko. Usia mereka mungkin di atas Riko sedikit, tetapi soal kepemimpinan tampaknya mereka kalah dari Riko.

Melihat mereka berdua, Farras jadi ingat pembicaraannya semalam dengan kedua orang tuanya.

"Maaf nih, Ko. Aku mau nanya sesuatu."

Riko yang sedang menenggak minuman bersoda, menyelesaikan kegiatannya. Lantas menoleh pada Farras.

"Kayaknya serius?" tanya Riko dengan kernyitan di dahi.

Farras mengangguk.

"Bundaku cerita, kalau sekitar tiga hari lalu, ada dua anak punk mengendap-endap di rumahku. Karena Bunda nggak bisa menceritakan ciri-cirinya, aku jadi tidak bisa menebak siapa mereka. Tapi tadi pagi Bunda cerita lagi kalau mereka naik Vespa yang dimodifikasi pakai tempat penumpang di sebelah gitu." Farras diam sesaat. Sedang Riko masih setia menunggu kelanjutan cerita temannya.

"Bundaku khawatir, kalau mereka bermaksud buruk. Walaupun aku yakin kalau kalian nggak jahat, tapi aku harus bisa meyakinkan Bundaku, kan? Biar beliau nggak curiga melulu." Farras berhenti bercerita. Ia menoleh ke arah Riko yang berdiri bersandar tiang halte sambil menenteng ukulele. Kebetulan sekali ini hari Sabtu, sehingga tak banyak orang yang pulang kantor seperti biasanya saat jam dua seperti ini.

Riko tampak berpikir, mencerna cerita Farras.

"Jangan terlalu yakin kalau kami nggak berniat buruk. Kamu hanya kenal aku dan beberapa temanku. Ada banyak anak seperti aku, dan tiap kelompok bisa jadi punya aturan berbeda," kata Riko.

"Hm ... Nggak banyak anak punk di wilayah ini. Aku akan mencoba mencari tahu siapa yang ke rumahmu dan apa maksudnya," janji Riko.

Farras menatap Riko penuh rasa terima kasih. "Tapi jangan membuatmu berkelahi sama yang lainnya."

Riko tertawa terbahak-bahak. "Kamu nggak tahu apa-apa tentang kami, kan? Kadang memang ada masalah yang harus diselesaikan dengan berkelahi," pungkasnya, sebelum menyuruh Farras pulang.

Tiba-tiba saja Farras menyesal menceritakan hal itu kepada Riko. Akhir-akhir ini, anak yang usianya satu tahun di atasnya itu terlihat lebih kalem dan tidak meledak-ledak. Kalau sampai Riko berkelahi gara-gara ceritanya, Farras akan merasa sangat bersalah.

**

Hari sudah malam. Di emperan toko di depan pasar, tiga anak punk bersandar di pintu toko. Satu orang sudah merebahkan diri. Mereka sudah lama berdamai dengan hawa dingin. Ditemani gemintang di langit malam sebagai hiburan. Diiringi genjrengan gitar mini yang dipetik salah satu anak itu, mereka bernyanyi. Kecamatan tempat mereka berdiam lumayan aman. Jarang sekali ada Satpol PP yang mengusir mereka.

Langkah kaki yang tergesa terdengar, membuat mereka waspada dan menghentikan nyanyian mereka. Namun kemudian mereka bisa bernapas lega ketika tahu siapa yang datang. Riko. Salah satu dari mereka.

Namun kemudian ketenangan itu tak berlangsung lama. Karena dengan nada menuduh, Riko bertanya, "Kamu kan yang mendatangi rumah Farras?"

Anak yang memegang gitar mendongak, menatap Riko yang berdiri dengan tangan di pinggang. Kemudian dengan penuh tantangan ia berkata, "Kalau iya, memangnya kenapa?"

"Dia temanku. Kalau ada apa-apa sama dia, aku lawanmu, To," kata Riko dengan berani.

"Benar kata Bos Plontos, kamu nggak setia kawan lagi sejak berteman sama anak itu," kata Anto, seraya meletakkan gitar di sebelahnya. Kemudian ia berdiri, tepat di depan Riko. Menantang.

"Oh, jadi ini karena Bos Plontos. Kalian yang pengecut, mau-maunya nurutin dia terus. Kalian akan rugi sendiri," kata Riko.

"Kami melindungimu dari Bos!" kata Anto sambil menunjuk dada, hingga membuat Riko mundur.

"Kalau kami nggak melakukannya, Bos akan mencarimu, terus menyiksamu lagi. Kami tidak rela Bos terus nyiksa kamu. Kalau Farras, dia itu orang lain," kata Anto memberitahu alasannya.

"Hah! Aku nggak takut. Aku sudah kebal dengan semua siksaan itu. Lagi pula kalau aku mati, nggak ada yang akan menangis. Beda sama Farras, dia dari keluarga yang harmonis. Kalau ada apa-apa sama dia, pasti keluarganya akan langsung bertindak," kata Riko tajam.

Teman-teman mereka hanya menatap keduanya yang sedang bertengkar. Tidak tahu harus membela yang mana.

"Bagaimana dengan kami? Kamu nggak mikiran kami," tuduh Anto.

"Aku sudah mengajak kalian buat melawan Bos Plontos dan anak buahnya. Tapi kalian nggak berani. Kita itu lebih banyak. Ngapain takut?" kata Riko mengompori temannya.

"Kita semua bisa disiksa," kata Anto mengeyel.

"Nggak kalau semua kompak," bantah Riko.

Riko, Anto, dan teman-temannya akhirnya diam. Riko tahu, teman-temannya yang di sini setia padanya. Dari dulu, ia memang tidak suka dengan ketidakadilan. Ia pernah melawan bapaknya, karena menyakiti Ibu. Sayangnya Ibu membela Bapak, katanya Bapak berhak melakukan itu karena ia istrinya. Dan Riko memilih pergi. Jauh. Agar ia tidak melihat Ibu disakiti lagi. Ia memang sepengecut itu.

Namun ternyata, ketidakadilan itu ada di mana-mana. Bahkan di sini, bersama anak-anak yang memuja kebebasan. Kalau ia pergi sekarang, meninggalkan teman-temannya yang ada dalam kuasa Bos Plontos, ia memang pantas disebut pengecut.

"Memangnya apa yang diinginkan Bos  terhadap Farras?" tanya Riko, sembari duduk bersandar tembok di sebelah temannya.

Anto mengedikkan bahu. "Kami nggak tahu. Kami cuma disuruh mencari tahu soal keluarganya, terus melapor ke Bos."

Riko mengangguk-angguk. Hatinya dipenuhi tekad. Tidak akan lagi ada Riko Si Pengecut. Teman-temannya harus selamat, termasuk Farras. Karena Farras juga temannya.

Malam semakin larut dan dingin. Teman-teman Riko akhirnya merebahkan diri di emperan toko itu. Beristirahat. Mungkin besok kehidupan lebih baik bagi mereka.

Sedangkan Riko merogoh buku di dalam tas kainnya yang sudah bulukan. Lalu ia membuka buku dari Farras, membacanya dengan tekun. Dengan mata berbinar-binar. Di bawah cahaya lampu yang tak seberapa terang.

**

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang