13. Ketahuan

287 37 4
                                    

Farras menunggu Riko yang sedang mengamen di perempatan jalan dekat halte

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Farras menunggu Riko yang sedang mengamen di perempatan jalan dekat halte. Ia mengamati temannya yang memetik ukulele sambil menyanyikan Banyu Langitnya almarhum Didi Kempot.

Dulu Farras sama sekali tidak tahu lagu-lagu campur sari. Namun sejak mengenal Riko dan kawan-kawannya, ia jadi akrab dengan lagu Godfather of Brokenheart itu.

"Hai, sudah lama?" tanya Riko saat melihat Farras.

"Baru sepuluh menitan," jawab Farras seraya menatap wajah temannya yang lebam-lebam. "Kamu habis berantem?" tanyanya.

Riko menyentuh wajahnya dan meringis. "Kira-kira begitulah," jawabnya tak sepenuhnya jujur.

"Sudah diobatin?" tanya Farras, khawatir melihat wajah temannya.

"Nggak usah khawatir. Kami tuh biasa kayak gini. Nanti juga bakalan sembuh," jawab Riko cuek, kemudian duduk di sebelah Farras. Matanya menatap kosong pada kendaraan yang lewat.

Meskipun ingin membantah, Farras memutuskan diam saja. Ia tahu, Riko tidak suka kalau ia bertanya tentang hal-hal yang terlalu pribadi.

"Ini." Farras memberikan buku dengan gambar planet besar dan tulisan Antariksapedia kepada Riko. "Aku sudah lama pengen ngasih buku ini ke kamu. Tapi akhir-akhir ini kamu jarang terlihat," lanjutnya.

Riko menerima buku dari Farras dan mengelus sampulnya. Binar di matanya menunjukkan kalau ia menyukai buku itu. "Aku pernah punya cita-cita jadi astronot," katanya dengan tawa pahit.

"Tak ada yang tidak mungkin. Kamu sekolah lagi saja," kata Farras refleks, tanpa bermaksud menyinggung sama sekali. Namun wajah muram Riko membuat Farras menyadari kesalahannya.

"Maaf, ya. Aku nggak bermaksud menyinggung kamu," ucap Farras, merasa bersalah.

Riko tidak membalas, hanya mengembuskan napas keras-keras. Lalu tak ada yang berbicara di antara mereka. Duduk berdampingan dengan mata menatap ke depan. Orang-orang di halte mengamati mereka berdua.

Seragam batik hijau dan celana hijau tua Farras yang rapi menunjukkan dari sekolah mana ia berasal. Sedangkan kaos, celana ketat, jaket kulit, rambut mohawk, tindikan di telinga, yang melengkapi penampilan Riko terlihat kontras dengan semua kerapian Farras.

"Kalau keluargaku seperti keluargamu, aku pasti akan lebih senang pulang. Lalu sekolah lagi, biar cita-citaku tercapai." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibir Riko setelah kesunyian yang mendera mereka berdua. Ya, hanya kesunyian di antara mereka, karena nyatanya di sekitar mereka, hiruk-pikuk halte tak kunjung berhenti. Bus yang menawarkan tumpangan. Orang-orang yang naik untuk pergi ke tujuannya masing-masing.

Namun Farras belum ingin beranjak. Meskipun setelah salat Jumat di masjid, lalu makan siang di sekolah, ia seharusnya sudah pulang.

"Oh ya, kenapa teman-temanmu nggak ada yang ngikutin kamu?" tanya Farras mengalihkan pembicaraan. Biasanya Riko selalu dikerubungi teman-temannya sesama anak punk. Seringnya empat anak cowok, dan satu cewek.

Riko mengedikkan bahu. "Mereka pengecut," jawabnya. Dan meski Farras bertanya maksudnya, Riko enggan memberi jawaban lebih banyak.

Akhirnya Farras menyerah. Ia juga tidak mau terlalu menekan temannya. Ia akan melakukan semua pelan-pelan. Mungkin suatu saat Riko akan percaya padanya, dan menuruti saran-sarannya.

**

Jumat siang setelah salat Jumat, Sita mengajak Hanif berkeliling kota kecil mereka naik mobil. Siapa tahu ada penampakan Jeep Cherokee yang membuat hidup mereka penuh tanda tanya.

Tentu saja Hanif tidak ingin terus dicurigai istrinya menerima uang suap, karena ia memang tidak melakukannya. Jadi ia menuruti ajakan Sita. Meskipun menurut Hanif hal itu sama sekali tidak efektif, karena mencari satu mobil di antara beratus-ratus mobil di kota mereka, pasti tidak mudah. Lagi pula ada kemungkinan, mereka bukan orang dari kota ini.

"Maunya cari ke mana?" Hanif menanyai istrinya yang terus mengawasi jalanan.

"Ya, pokoknya keliling kota. Kalau perlu, ke jalan-jalan tikus juga. Jalannya pelan-pelan saja," jawab Sita tanpa melihat suaminya.

"Siap, Bunda Sayang," kata Hanif sambil terus menyetir. "Eh, tapi yakin, nih, bakal ketemu?" tanyanya lagi.

"Pokoknya kita ada usaha, kan? Dari pada kita diam saja. Sudah hampir seminggu nih, Yah," kata Sita mengingatkan.

"Iya ... iya... Ayah usaha, kok. Bunda saja yang nggak tahu," kata Hanif terkekeh, dan dibalas dengan cibiran istrinya yang tak percaya.

Kemudian Hanif terus menyetir, sementara Sita terus mengamati tempat-tempat yang mereka lewati.

"Capek juga ya, kalau seperti ini," kata Sita setelah hampir dua jam mereka berputar-putar ke berbagai tempat.

Hanif tersenyum. "Katanya mau muterin seluruh kota?"

Sita menatap suaminya galak. "Ledekin aja terus. Kalau bukan karena Ayah, Bunda nggak bakalan ngajakin keliling begini."

"Loh, kok Ayah?" tanya Hanif tak mengerti. Matanya tetap konsentrasi pada jalur di depannya.

"Karena sikap Ayah mencurigakan," jawab Sita.

Hanif tertawa. Ia sudah hafal sifat istrinya yang pencuriga. Jadi ia hanya perlu membuktikan kalau dirinya tak bersalah.

"Eh, Yah ... Ayah .... Ayah ... lihat ke sana. Itu Farras, kan?" Sita menepuk-nepuk lengan Hanif, menyuruh suaminya itu melihat arah yang ditunjuknya.

Untungnya sekarang mereka berada di lampu merah. Jadi Hanif bisa melihat ke halte yang ditunjuk Sita dengan jelas. Memang ada Farras di sana. Duduk dan bercakap-cakap dengan seorang anak yang kira-kira seusianya, tetapi berpakaian ala berandalan.

"Tuh, Ayah dibilangin dari kemarin nggak percaya. Farras temenan sama anak kayak gitu, Yah," kata Sita menyalahkan suaminya.

Rambu lalu lintas telah berubah merah, Hanif pun menjalankan mobilnya. Namun karena masih ingin mengetahui apa yang dilakukan anak sulungnya, ia membelokkan mobil ke rumah makan yang ada di depan halte.

"Kok malah ke sini? Bukannya nyamperin Farras," protes Sita saat Hanif parkir di depan rumah makan.

"Kita lihat dulu saja, apa yang dilakukan anak itu. Kalau Bunda ke sana, pasti langsung melabrak Farras, terus langsung membawanya masuk mobil. Pasti bikin ricuh di sana," kata Hanif yang sudah sangat hafal dengan istrinya.

Sita cemberut, walau dalam hati membenarkan perkataan Hanif. Memang itu yang akan dilakukannya.

"Sepertinya mereka akrab." Hanif bertanya pelan, tetapi masih cukup di dengar oleh Sita. Matanya tidak lepas sedikit pun dari memandang anaknya di halte.

"Makanya Ayah tuh, nggak usah kebanyakan mikir. Kita harus lebih tegas. Kalau Farras sudah terpengaruh anak nakal itu, baru deh menyesal," omel Sita.

"Ayah masih percaya sama Farras. Dia pasti punya alasan yang bagus. Tapi belum diungkapkan ke kita," balas Hanif berargumen.

"Begitu saja terus ... Ayah suka nunda-nunda semua hal. Soal Farras, soal Adiba, soal koper," kata Sita masih ingin mengomel.

Seorang tukang parkir menghampiri Sita dan Hanif yang tak kunjung turun dari mobil.

"Ada yang bisa di bantu, Pak?" tanya tukang parkir itu kepada Hanif.

"Eh, nggak kok, Pak. Tadi kami perlu nyari sesuatu dulu," jawab Hanif beralasan. Lantas mengajak Sita turun. Lagi pula, mereka memang belum makan siang. Anggap saja sekarang mereka sedang berkencan. Bukankah sudah lama mereka tidak keluar berdua seperti ini?

Sita mengikuti suaminya yang sudah terlebih dulu turun. Ia masih ingin mengomel, tetapi sepertinya saatnya kurang tepat. Mungkin nanti, di rumah, terhadap Farras juga.

**

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang