9. Siapa Mereka?

243 34 2
                                    

Hari masih menunjukkan pukul 10 siang. Tak banyak aktivitas di sekitar rumah Sita. Di jalan depan rumahnya, walau pun merupakan jalan raya, tetapi bukanlah jalan yang ramai. Tempat tinggalnya memang bukan di pusat kota, hanya di kota kecamatan saja. Dan hanya kecamatan kecil.

Di dalam rumahnya, Sita dan pegawainya berada di ruang kerja. Ruangan itu hanya berupa ruangan berukuran lima kali enam meter. Di pinggir tembok terdapat rak sebagai tempat menyimpan jilbab-jilbab yang sudah terbungkus plastik. Ada pintu yang langsung menuju halaman rumah Sita dari ruangan itu. Kadang ada orang-orang di sekitarnya yang membeli jilbab juga. Sita tetap melayani, meskipun fokus utamanya bukan jualan offline.

Di meja kerjanya yang ada di dekat pintu menuju ruang tamu, ada laptop yang selalu menyala dari pagi hingga sore. Biasanya untuk menghandle pekerjaan admin toko online-nya.

Sita sudah mengajari Arum menjadi admin di marketplace oranye tempatnya berjualan secara daring. Mungkin nanti ia akan benar-benar melepaskan bagian itu untuk Arum. Sedang ia akan fokus pada pengembangan usahanya. Ia sudah membuat coretan-coretan di bullet journal bisnisnya.

Siti dan Tika, pegawai Sita yang lain, bertugas mengecek ketersediaan barang dan packing paket.

Di dapur, Mbok Minah sedang memasak makan siang untuk Sita dan pegawainya. Hanif tak pernah makan siang di rumah saat hari kerja. Begitu pun anak-anak. Mereka makan siang di sekolah.

Semua berjalan seperti biasa, terasa tak ada yang istimewa. Hingga kemudian terdengar teriakan dari halaman depan.

"Maling!" Suara Khadijah mengagetkan semua orang di dalam rumah. Refleks Sita dan pegawainya berlarian keluar.

"Mana, Mbak?" tanya Sita panik, pada kakak iparnya yang masih berada di teras rumahnya sendiri.

Khadijah menunjukkan ke arah jalan. Dua orang laki-laki dengan pakaian khas anak punk lari tunggang- langgang, diikuti suara kelontang motor modifikasi mereka.

Perasaan cemas tiba-tiba merayapi diri Sita.

Apa ini ada hubungannya dengan Farras?

Jika memang benar seperti itu, ia harus bicara lagi dengan suaminya. Ini sudah level bahaya. Masa depan Farras taruhannya. Visi keluarga mereka bisa jadi berantakan.

Keluarga sakinah mawaddah warohmah, dalam ketaatan kepada Allah, menuju kebahagiaan dunia akhirat. Sita merapalkan dalam hati, kalimat-kalimat yang dulu pernah digagas oleh Hanif dan dirinya.

Khadijah tergopoh-gopoh menuju rumah Sita. Rumahnya dan rumah Sita hanya dibatasi pohon beluntas, yang berguna sebagai pagar hidup. Jadi apa yang ada di halaman rumah Sita terlihat dari rumahnya.

"Aduh, aku tadi kaget sekali. Pas keluar rumah lihat mereka mengendap-endap di rumahmu." Napas Khadijah masih terengah-engah saat berbicara. "Apa ada barang hilang?" tanyanya kemudian.

Sita mengernyit, lalu masuk ke dalam rumah, memeriksa keadaan. Kemudian keluar lagi. "Sepertinya nggak, Mbak. Tatanannya juga masih sama seperti terakhir kulihat," katanya pada Khadijah.

"Alhamdulillah." Khadijah mengelus dadanya yang terasa lega.

"Kok bisa mereka di sini, ya? Mau ngapain? Biasanya mereka kan nongkrong di jalanan?" Pertanyaan Khadijah seperti ditujukan pada dirinya sendiri, mengacu pada keberadaan dua anak punk tadi.

Sita mengedikkan bahu. Para pegawainya sudah masuk untuk bekerja lagi, diiringi pembicaraan kejadian barusan.

"Mbak kita duduk dulu, yuk," ajak Sita pada kakak iparnya. Lantas mereka duduk di teras rumah yang terdapat dua kursi santai.

Beberapa menit tak ada yang berbicara. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya sendiri. Dengan kejadian yang sama, tetapi berpikirnya dari sudut pandang yang berbeda.

Angin berhembus lembut. Pohon mangga dan matoa di depan rumah Sita meneduhkan keadaan di sana.

"Sita ... ehm ...." Khadijah membuka pembicaraan terlebih dahulu, tetapi terdengar ragu.

"Ya, Mbak?" Sita menatap kakak iparnya untuk meyakinkannya agar meneruskan kalimatnya.

Khadijah mengembuskan napas terlebih dahulu, sebelum berbicara lagi. "Sebenarnya aku sudah dua kali melihat mereka di depan rumahmu," kata Khadijah memberitahu.

Mata Sita membola. "Kapan, Mbak?"

"Selain hari ini, kemarin aku juga melihat mereka. Aku nggak bilang ke kamu karena berpikir kebetulan saja mereka di sana. Tapi tadi karena mereka sampai masuk ke halamanmu, ya aku teriakin mereka," ungkap Khadijah.

Sesaat Sita terdiam.

"Aku jadi khawatir lho, Mbak. Soalnya baru-baru ini, aku diundang ke sekolah Farras. Kepala Sekolahnya bilang, kalau Farras berteman sama anak-anak punk. Sampai merokok segala." Akhirnya sekalian saja Sita curhat ke kakak iparnya.

Khadijah terlihat kaget. "Nggak mungkin Farras seperti itu," ucapnya tak percaya.

"Betul. Aku juga nggak percaya kalau melihat keseharian dia. Tapi ada guru yang melihat kejadiannya langsung, Mbak. Masak aku mau tidak percaya." Sita sedih kalau bercerita tentang Farras. Rasanya seperti menceritakan ketidakmampuannya dalam mendidik anaknya sendiri.

Khadijah menggeleng-gelengkan kepala, masih sulit mempercayai kalau kelakuan keponakannya seburuk itu.

"Mas Hanif kalau kulaporin soal ini, seperti menganggap itu bukan hal penting. Pernah bicara sekali sama Farras. Tapi ya gitu aja. Nggak ada kelanjutannya. Kalau sama aku, Farras nggak mau terbuka. Aku kan pengennya semua segera selesai. Tapi Mas Hanif malah suka nunda-nunda." Sita mendesah. Tangannya saling menggenggam, seolah menyimpan keresahannya di dalam sana.

"Sabar ... Hanif kan memang sibuk," kata Khadijah menenangkan, seraya menepuk punggung tangan Sita.

"Lagipula, pemikiran laki-laki sering kali berbeda dengan kita. Bukannya tidak peduli, tetapi cara dia menyelesaikan masalah yang berbeda. Mas Basith dulu pernah seperti itu juga. Si Raihan itu kan dulu nakalnya minta ampun. Kebut-kebutan di jalan tiap hari. Kalau diingatkan, dia bilang Umi nggak ngerti anak muda. Abahnya ya gitu, kalau kulaporin cuma ngomong, nanti juga berhenti sendiri. Sampai akhirnya ada temannya yang meninggal karena kecelakaan pas balapan liar. Mas Basith ngomong berdua gitu sama Raihan. Lama. Nggak tahu deh, apa yang diomongin. Terus Raihan minta maaf sama aku. Habis itu sikapnya jauh berubah." Khadijah menceritakan pengalamannya menghadapi anak pertamanya yang sekarang sudah lulus kuliah dan bekerja.

Sita mengangguk-angguk. Namun hatinya berkata, ia ingin semuanya segera diselesaikan. Ia tidak mau terlambat menangani ini. Ia ingin Farras kembali menjadi anak baik-baik.

"Ya sudah, aku ke kios dulu, ya. Nganterin makan siang Mas Basith," pamit Khadijah.

**

Motor modifikasi berwarna hitam dengan bendera-bendera entah apa, dihentikan oleh pengendaranya di sebuah tempat di dekat pasar.

"Sialan! Kita disangka maling!" kata anak punk pertama.

"Sudah kubilang, ini bukan pekerjaan mudah," kata yang satunya.

"Tapi kita harus melakukannya. Atau semua jadi berantakan," kata yang pertama lagi.

"Terserahlah. Yang pasti kita nggak bisa kembali ke sana lagi. Perempuan yang tadi mengenali kita."

"Iya, sih. Besok biar yang lain yang ke sana."

"Jangan! Mereka pasti masih waspada kalau lihat anak yang dandanannya seperti kita."

Keduanya mendesah pasrah, lalu bergabung bersama teman-temannya yang lain.

**

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang