28. Mereka Kembali

692 52 5
                                    

Hanif izin lagi dari kantor pada hari berikutnya. Ia harus menyelesaikan urusan yang berkaitan dengan penyekapan kedua anaknya. Begitu juga anak-anaknya. Ia memintakan izin ke sekolah, agar mereka bisa istirahat terlebih dahulu.

Meskipun pegawainya masuk, tetapi Sita membebastugaskan mereka dari pekerjaan yang biasa. Sekarang semuanya berada di dapur untuk memasak, termasuk Khadijah ada di sana.

Sita memang sengaja masak banyak hari ini, sebagai bentuk rasa syukurnya karena anak-anaknya selamat dari penyanderaan. Sungguh, keluarganya pantas bersyukur telah selamat dari kejadian yang membuat jantungnya nyaris copot itu. Ia akan membagikan makanan itu ke para tetangga.

"Diba harusnya membangunkan Bunda kemarin. Bahaya kan pergi sendiri begitu," tegur Hanif pada anak perempuannya atas kelakuannya di hari yang lalu.

Hanif, Farras, dan Adiba duduk bersama di ruang tamu, sementara para perempuan memasak.

"Habis, Diba kasihan sama Bunda, kelihatan capek banget. Diba niatnya cuma mencari tahu, apa benar Kak Farras di hutan itu, seperti informasi yang diberikan lewat WA," kata Adiba memberi alasan.

"Jangan diulang lagi, ya," kata Hanif seraya mengacak rambut anaknya yang sedang tak berjilbab.

"Iya, jangan diulang lagi. Nanti bikin Bunda khawatir." Farras ikut-ikutan memberi nasihat.

"Huh, seperti Kakak nggak bikin khawatir Bunda aja," ledek Adiba.

"Iya, deh. Kakak juga salah," kata Farras mengalah.

Mereka masih bercanda dan tertawa, ketika ada tamu yang datang mengucapkan salam.

Hanif mengernyit, karena merasa tidak mengenal tamu yang datang. Namun ciri-ciri mereka terasa familiar. Apakah mereka ...

"Saya Hadi dan teman saya ini Andi. Kami ingin bertemu Pak Hanif," kata tamu itu memperkenalkan diri.

"Ya, saya sendiri," balas Hanif yang masih merasa heran.

"Dan Bu Hanif," tambah tamu yang bernama Hadi.

"Istri saya maksudnya?" tanya Hanif tak yakin. Meskipun ia punya dugaan-dugaan, tetapi lebih baik ia menunggu apakah dugaannya benar.

Hadi mengangguk membenarkan.

"Farras, tolong panggilkan Bunda, ya," perintah Hanif pada anaknya, setelah mempersilakan dua orang tamu itu duduk.

Beberapa saat kemudian, Sita muncul dengan gamis dan jilbab instan berwarna coklat.

"Bapak-bapak? Yang waktu itu ...," katanya terkejut.

"Kami kembali untuk meluruskan sesuatu," potong Hadi.

Sita masih mengingat mereka berdua. Dua orang yang mengantar koper berisi banyak uang ke rumahnya. Lalu ia duduk di sebelah Hanif untuk mendengarkan hal yang akan disampaikan tamunya.

"Sebelumnya, kami mohon maaf karena kami salah mengantarkan koper. Seharusnya barang itu bukan untuk Pak Hanif yang ini," kata Hadi menjelaskan.

Sita dan Hanif melongo. Kejadian unik seperti ini pasti jarang terjadi. Uang sebanyak itu diberikan pada orang yang salah?

"Jadi, sebenarnya uang itu untuk orang bernama Hanif juga?" tanya Hanif tertarik.

Hadi mengangguk. "Jadi, kami memang bukan dari kota ini. Diutus oleh atasan kami, namanya Bos Karman, untuk urusan jual beli tanah. Saya tidak tahu kenapa orang tersebut minta uang dalam bentuk tunai. Pokoknya kami siap saja. Waktu kami sampai di daerah ini, kami bertanya kepada orang, di mana rumah Pak Hanif, dan orang itu menunjuk rumah ini. Saya sudah menelepon Pak Hanif satunya, dan dia bilang silakan memberikan uang kepada istrinya. Kebetulan di rumah ini saya bertemu Bu Hanif saja karena katanya suaminya sedang di luar kota," jelas Hadi.

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang