4. Penasaran

296 48 10
                                    

"Rum, nanti tolong cek pesanan kita ke Bu Nina, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Rum, nanti tolong cek pesanan kita ke Bu Nina, ya. Tugas anak-anak juga cek semua. Catatan, packing, pengiriman, semua. Aku nggak enak badan," perintah Sita pada pegawainya paling senior. Kalau ada hal urgen yang harus ia kerjakan, Arum memang selalu menjadi andalannya. Gadis dua puluh lima tahun lulusan SMK Akuntansi itu cekatan dan bisa dipercaya.

"Iya, Bu," jawab Arum patuh, sementara kepala Sita sudah puyeng. Bukan karena ia benar-benar sakit, tetapi perasaannya yang tak enak.

Semua gara-gara koper itu!

"Oh ya, tolong bilang Siti buat jemput Adiba. Kalau Farras, biar saya sendiri nanti yang jemput," perintah Sita lagi. Arum yang sudah sampai pintu, berbalik sesaat untuk mengiyakan permintaan bosnya.

Kemudian Sita melangkah menuju kamarnya. Dibukanya lemari gantung, lalu mengambil tas koper berwarna army. Lantas meletakkan tas itu di atas kasur.

Sita bersedekap sambil menatap koper itu.

Ini sudah hari keempat Hanif pergi mengikuti bimbingan teknis di tingkat Provinsi, tetapi setiap kali chat ia sama sekali tak menyinggung soal koper dan dua orang yang datang ke rumah. Sita sebal sekali karena itu, dan semakin bertekad ia tidak akan bertanya kalau suaminya tidak cerita sendiri.

Namun ... koper itu seolah memanggilnya untuk melakukan sesuatu.

Buka ... Tidak ... Buka ... Tidak ...

Hatinya terus terombang-ambing di antara dua pilihan. Tidak mungkin kan ia istikharah untuk memilih yang seperti ini? Sita menggeleng-gelengkan kepala mengusir pikirannya yang melantur.

Sita berpindah posisi dengan duduk di tepi kasur.

Tidak boleh dibuka, kamu tidak berhak. Satu sisi hatinya, berbisik. Matanya melirik tas koper dengan galau. Akhirnya ia berdiri, akan keluar kamar, tetapi akhirnya tidak tahan, dan berbalik lagi.

"Buka!" Akhirnya bisikan itu yang menang. Bahkan itu bukan koper yang ada sandinya. Itu tas koper yang hanya menggunakan ritsleting sebagai penutupnya. Jadi, pasti isinya bukan sesuatu yang penting.

Dengan berdebar, Sita mendekati koper itu lagi. Pelan-pelan ia menyentuh tas besar itu. Mengelusnya. Ragu. Namun penasaran.

Sita membuang napas keras-keras dan membulatkan tekad. Iya, buka saja.

"Bismillah."

Hati-hati sekali ia menggeser ritsleting tas koper itu hingga terbuka sempurna.

Mata Sita langsung melotot, mulutnya terbuka, napasnya seolah berhenti. Tangannya bergetar saat pelan-pelan mendekat ke arah lembaran merah. Uang seratus ribuan. Dan sangat banyak. Memenuhi tas koper itu.

Dengan gugup Sita menutup kembali tas koper army itu dengan napas memburu. Saking gemetarnya, sampai-sampai ritsleting tas itu tak kunjung bergerak. Ia mencoba dan mencoba lagi sampai berhasil.

Siku Sita (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang