Bagian 18

60.8K 3.2K 359
                                    

Author POV

Seperti yang Aurora duga, Sydney memiliki pemandangan yang sangat indah ketika siang hari. Banyak gedung-gedung tinggi yang ia lihat, orang-orang berlalu lalang dengan ponsel di telinga mereka, sepertinya mereka sibuk. Belum lagi dengan tempat wisata yang patut untuk dikunjungi apabila datang kemari.

Bibirnya melengkung indah menatap dari balik kaca taksi. Jika memungkinkan, Aurora mau sekali tinggal di Sydney bersama Rafael. Pasti akan sangat seru sekali.

"Bentar lagi kita sampe ke kampus tempat aku ambil magister. Tempatnya luas dan menyenangkan, banyak temen-temen yang asik juga di sini," jelasnya.

Taksi berhenti di bagian depan universitas. Keduanya melangkah bersama-sama sambil bergandengan tangan untuk menelusuri isi dari Universitas New South Wales, tempat di mana Rafael mengemban ilmu.

Mata Aurora berbinar melihat sekitarnya, universitas ini sungguh berbeda dengan Indonesia, tapi Aurora tetap bangga menjadi bagian dari warga negaranya. Jika diberi pilihan pun, Aurora tetap akan berkuliah di Indonesia saja.

"Wah ini halaman tengahnya luas banget, Raf. Kamu biasa ke sini?" tanya Aurora dan Rafael pun mengangguk. Dia biasanya melewati tempat ini untuk pergi ke perpustakaan ataupun kafe setempat. Apa yang luar biasa di mata Aurora, sebenarnya terlihat biasa-biasa saja baginya. Satu tahun lebih ia berada di sini sehingga Rafael mulai merasa jenuh.

"Perpustakaannya di mana, Raf?"

"Ada di sebelah kiri, tapi lumayan jauh. Aku takut kamu capek kalo jalan ke sana, jadi gak usah mampir. Kita ke tempat-tempat yang deket aja," jawabnya. Rafael memikirkan kandungan Aurora, yang ia tahu wanita hamil tidak boleh terlalu lelah jadi dia tidak akan mengambil risiko apapun apabila mereka tetap memaksa pergi ke perpustakaan yang letaknya agak jauh di kampus yang luas ini.

Rafael menunjukkan beberapa spot menarik di mana biasanya ia bersantai dan juga tak lupa ia mengenalkan Aurora kepada beberapa temannya yang merupakan orang Australia dan Inggris. Aurora takjub karena Rafael terlihat benar-benar seperti pria yang jenius. Dia adalah laki-laki idaman, sudah tampan, penyayang, pintar, dan tentu saja merupakan keturunan sendok emas. Siapa yang tidak terpikat kepadanya?

"Capek? Mau istirahat dulu?"

Aurora mengangguk kecil, mereka duduk di bangku yang berada tepat di bawah dua pohon besar sehingga terasa sejuk dan nyaman. Wanita itu tidak merasa malu untuk duduk berdampingan dengan Rafael sembari bergelayut di lengan kanannya. Aurora akan menggunakan segala kesempatan untuk berduaan bersama suaminya.

"Aku bangga sama kamu, Rafa. Kamu bisa lanjut kuliah di tempat sebagus ini."

"Semuanya demi menunjang masa depan, Ra. Pendidikan dan skill itu perlu, jadi aku gak mau sampe ketinggalan," balasnya. Aurora pun setuju dengan itu, dia juga berjuang mati-matian agar bisa menjadi model yang profesional. Sudah sering ia tergabung di fashion show para perancang busana di Jakarta dan ia juga sudah melakukan ratusan sesi pemotretan dengan rekan kerjanya. Bisa dibilang Aurora cukup sukses dengan karirnya.

"Kamu punya prinsip yang bagus, aku suka..."

Rafael meliriknya dengan sebuah senyuman. Aurora dengan tulus memujinya, dia memberinya semangat serta doa. Semuanya sungguh berbeda dengan masa-masa saat Rafael masih bersama Salvia. Mantan kekasihnya itu kerap menanyakan berapa gaji yang akan Rafael peroleh apabila sudah bekerja dan tentu saja merencanakan hal-hal mewah yang tidak ada gunanya sama sekali. Kalau dipikir-pikir, dia sangat bodoh karena diam begitu saja.

"Udah makin siang, kamu laper gak?" tanya Rafael. Dia tahu beberapa restoran yang menyajikan menu makanan enak di sekitar sini jadi ia akan membawa Aurora ke sana.

Menikah Tanpa Cinta [TAMAT] REPOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang