Dandelion 14

37 32 2
                                    

Dara meremat apron bawah miliknya merasa geram dengan hal yang dialami malam ini, mengumpat berkali-kali pun terasa percumah jika orang yang diumpat tidak mendengarnya. Dia risih dengan tatapan ketiga pria yang sedang mendudukan diri tepat di depannya. Mereka jelas membicarakan sesuatu, tapi kenapa harus menatap dirinya dengan tatapan legam bak sekumpulan singa yang akan menerkam mangsa.

Ruang coffeeshop itu lengang sebab mereka tidak berbicara terlalu keras. 'Hari ini aku akan tamat!' Dara membatin dengan kesal.

Dara pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Firasat buruk yang sempat dia rasakan sekarang benar-benar terjadi. Terlambat untuk menyadari hal itu. Dia bisa saja mengambil jatah cutinya hari ini jika mau. Di samping itu, lutut Dara juga terluka cukup parah, mungkin waktu tiga hari tidak akan cukup untuk menyebuhkan luka ini.

"Dara!" Dara mendekat saat Kian memanggilnya beberapa kali, dengan tertatih dia coba menghampiri meja mereka.

Seojin mengeryit, menatap Dara tidak senang. "Apa ini. Apa coffeeshop ini mempekerjakan orang picang?" Dia mencibir tanpa rasa sesal seraya melipat kedua lengannya di dada membuat Dara mendengus kesal, dia berusaha menahan seluruh amarah sejak tadi.

Dara menarik secarik kertas untuk mereka mencatat pesanan, karena biasanya pembeli yang seharusnya datang ke kasir untuk memesan dan mengambil pesanan mereka saat siap. Namun, entah mengapa mereka melakukan hal sebaliknya pada Dara malam ini. Apa mereka merasa berkuasa atas tempat yang sudah mereka sewa. Oleh sebab itu, mereka memperlakukan Dara layaknya seorang pelayan dan hal menyebalkan lainnya adalah mereka hanya menggunakan tempat ini untuk mengobrol santai.

"Sudah?" tanya Dara singkat saat mereka selesai menyoret secarik kertas itu dengan tinta hitam. "Aku akan baca kembali pesanannya-"

"Bukankah sebaiknya kau buatkan saja pesanan kami? Tulisan itu tidak mungkin salah, kan?" Dara terdiam dan menganguk kaku. "Lagi pula, hanya ada kami di sini!" Tambah Kian dengan geram, dia kembali menyeringai setelahnya.

Dara memutar bola mata, malas berdebat dengan malaikat maut di depannya. Dia ingin sekali pergi dari coffeeshop saat itu juga, jika dia tidak berfikir jauh untuk tidak melakukan itu.

"Baik!" Dara beranjak.

Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat saat Dara melirik benda itu sekilas. Dia yakin akan pulang lebih larut dari jam operasional yang telah ditetapkan. Diangkat tray itu perlahan dengan tangan kiri menuju ke depan meja, satu cangkir ekspresso, satu gelas ice latte, dan segelas matcha hangat siap diberikan kepada para berandalan yang telah duduk manis di kursi masing-masing.

"Apa ada lagi?" tanya Dara memastikan, mereka saling menatap, Kian menggeleng pelan setelah temannya memberi respon. Dara membungkuk menatap mereka sekilas sebelum akhirnya memilih beranjak dari sana.

Dia merapihkan kasir berfikir mereka mungkin akan pergi setelah selesai minum, dilirik olehnya ketiga pria itu berkali-kali berharap tidak ada hal aneh yang mereka inginkan selama berada di dalam sini. Dara mendongak ke pojok kasir menatap kamera cctv yang aktif setiap hari, syukurlah benda itu masih menempel di sana.

Dara mendengus mengingat kedua rekan kerjanya harus pulang lebih dulu, karena permintaan dari mereka. Dara sempat terkejut mendengar hal tersebut. Namun, dia tidak bisa berbuat apapun sebab itu adalah permintaan dari tamu. Kedua rekan kerjanya pulang dengan perasaan cemas, terlebih Daigo. Pria itu sempat menanyakan kondisi Dara mengingat Dara bekerja dalam keadaan tidak baik. Beberapa kali kedua rekan kerjanya mengirim Dara pesan untuk menanyakan keadaan serta kondisi coffeshop.

"Dara!" panggil seseorang yang berhasil membuat Dara tersentak dan mendekat secepat yang dia bisa.

"Ada apa?" sahut Dara dengan tertatih.

Dandeliar ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang