Dandelion 35

17 19 0
                                    

Dua puluh lima hari setelah Kian hilang dari kelas. Ada sepasang bola mata yang terkadang menatap bodoh ke arah kursi kosong, menunggu kehadiran malaikat maut di dalam kelas yang biasanya hanya membuat keributan. Mungkin kini kursi itu sudah berdebu, karena tidak pernah diduduki.

Menunggu sesuatu yang bersifat seperti bumerang baginya, meskipun Dara jenuh tiap kali pupil biru itu tidak sengaja bersitatap dengannya.

"Hai," seru Ri El yang menghampiri Dara ke kelasnya.

Lambaian tangan dari Ri El tidak dia hiraukan, biasanya lambaian itu selalu membuat Dara tersenyum. Namun, kini Dara tidak tersenyum sedikitpun setelah dia melirik. Ri El mengeryit saat mendapati sahabat baiknya itu sedang menatap kosong ke arah salah satu kursi yang ada dibarisan belakang. "Bukankah ini kursi malaikat maut?" gumam Ri El.

"Hm, benar." Dara berucap dengan malas, seperti orang yang kehilangan semangat hidup.

Ri El mengedik acuh, pikirnya bagus jika malaikat maut itu tidak ada selama beberapa minggu terakhir, setidaknya dia tidak perlu merasa cemas untuk masuk ke dalam kelas Dara saat jam istirahat tiba. Oleh karena itu, Ri El lebih sering keluar untuk mencari Dara ke kelasnya.

"Kudengar Kian mengalami kecelakaan, apa itu benar?"

Dara merebahkan kepalanya ke atas meja, mendesah berat seakan beban berat telah diletakkan di atas tubuhnya yang ringkih. Dia sendiri tidak tau kenapa belakangan ini dirinya merasa kurang bersemangat.

"Hei ada apa denganmu?" Ri El merungguh, lalu mengusap rambut Dara yang terurai, kemudian membelai pipi dan dahinya barangkali sahabatnya itu merasa tidak enak badan. "Badanmu tidak panas."

"Memang tidak, apa aku terlihat seperti orang sakit?" tanya Dara.

"Tidak, tapi aneh. Kau biasanya tidak pernah seperti ini sebelumnya!" ungkap Ri El, merasa tau Dara luar dan dalam. Mata Ri El tiba-tiba saja membulat saat sadar akan sesuatu. "Jangan bilang jika kau merindukannya?" Bola mata Dara bergulir cepat membuat Ri El terlonjak dari posisinya.

"Dara!" pekik Ri El. Dia tidak ingin sahabatnya itu terkena masalah jika berhubungan dengan Kian. Terlebih setelah semua perlakuan yang didapat olehnya. Merindukan berarti siap mendapat masalah darinya. "Sadar Dara, sadar!"

Dara menyandarkan pungungnya seraya berfikir. "Menurutmu, apakah aku harus menjenguknya?" tanya Dara bimbang seraya berfikir.

"Tidak!" Ri El mendelik pada Dara. "Enyahkan pikiran itu dari dalam kepalamu secepatnya. Dia itu berbahaya!"

Dara mengeryit mendengar jawaban ketus dari bibir Ri El. "Kenapa?"

Ri El memutar bola matanya, dia jujur saja sedang malas berdebat. "Sebab kau tidak perlu begitu!"

Dara melipat lengannya di dada, merasa keberatan dengan kalimat tidak masuk akal yang Ri El ucapkan. "Berikan satu alasan kuat, kenapa aku tidak boleh menjenguknya?" sungut Dara tidak mengerti akan larangan yang Ri El ucapkan padanya. Itu sangat konyol menurutnya. Walaupun sebenarnya Dara juga tidak ingin menjenguk malaikat maut itu. Namun, jauh di dalam hatinya dia merasa iba dengan Kian, terlebih setelah dia mendengar berita kecelakaan mengejutkan itu dari televisi, lalu tersadar kala melihat stiker hati itu. Dara yakin matanya tidak salah lihat, sebab hanya Kian yang dirasa olehnya memiliki stiker berbentuk hati itu.

Mobil dengan harga miliaran milik Kian itu hancur terseret truk besar dalam sekejap. Itu sungguh disayangkan, mengingat tingkah angkuh Kian dan semua perbuatan yang dia lakukan padanya. Harusnya itu adalah pembalasan yang setimpal, Kian pantas menerimanya.

Dengusan keras keluar dari mulut Gadis di depan Dara. Ri El tau sahabatnya merasa kasihan padanya. Namun, dengan berbuat baik pada Kian, tidak akan dapat merubahnya. "Ingat berapa kali dia membuatmu hampir menangis?" Dara terdiam tidak dapat menjawab.

Dandeliar ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang