Dandelion 33

20 20 0
                                    

Malam itu, setelah makan Dara tertidur di meja dengan kedua lengan sebagai bantalan kepalanya. Wajar saja dia mengantuk, bangun pagi-pagi agar tidak terlambat datang ke sekolah, lalu menghabiskan sisa waktunya untuk bekerja paruh waktu. Itu sungguh hal luar biasa yang belum tentu bisa dilakukan oleh anak-anak seusianya.

Ada rasa sesal di hati Won saat menyadari keinginan Dara padanya untuk tidak bertamu malam ini, bahkan teringat hari dimana dia menelpon Dara tengah malam dan mengajaknya mengobrol hingga larut, sekarang Won merasa buruk kala mengingat hal itu. Dara bahkan tidak sempat membasuh wajah serta menyikat gigi terlebih dahulu sebelum terlelap di atas meja.

"Dia anak yang kuat," timpal sang Nenek saat mereka berdua hanyut dalam dengkuran halus Gadis cantik itu. Bulu mata lentik itu menghiasi kelopak ganda miliknya.

Won menoleh, lalu menganguk membenarkan ucapan sang Nenek. "Dara sudah hidup mandiri sejak sekolah dasar saat dia bisa mencari uang jajan untuk dirinya sendiri. Dia tidak pernah meminta lagi padaku."

Neneknya terdiam sejenak. "Aku tau dia tidak ingin menyusahkanku, tapi dengan begitu aku merasa sedih. Aku seperti lepas tangung jawab padanya."

Won bersuara, "Lalu bagaimana dengan kedua orang tua Dara, Nek?" tanya Won penasaran.

Dapur itu menjadi lengang saat sang Nenek memilih diam dan tertunduk. Dalam hati Won tau apa yang terjadi pada kedua orang tua Dara meskipun Neneknya belum berucap sepatah kata.

"Orang tuanya telah lama meninggal-"

Won terkejut saat terkaannya benar. Dia segera berdiri dan meminta maaf atas pertanyaan lancang yang mungkin saja menyakitkan hatinya. "Maafkan aku, Nek! Aku tidak bermaksud bertanya seperti itu."

Sang Nenek tersenyum menurutnya hal itu tidak perlu ditangisi lagi, sebab kecelakaan itu adalah takdir. "Tidak apa," jawabnya santai. "Kecelakaan mobil merengut nyawa kedua orang tuanya. Anak malang itu harus hidup tanpa belaian dari ibunya, bahkan setiap malam Dara sering bermimpi buruk tiap kali dia mendapat kesulitan dihidupnya."

Kedua bola mata sang Nenek mulai basah saat menatap sang Cucu untuk kedua kalinya. Dapat Won rasakan kesedihan yang ada di dalam hatinya, tangan Won terulur dan mengusap pungung tangan sang Nenek.

"Terima kasih banyak!" lirih sang Nenek. Diseka sisa air mata yang ada di pipinya secara perlahan.

Ada banyak hal yang membuat Won penasaran tentang Dara, dia ingin tau semuanya. Bagaimana cara dia tumbuh, cara dia bertahan, hal-hal yang Dara suka, dan tidak Dara suka. Itu sangat menarik sekarang.

Dilirik lagi Gadis yang sedang tertidur di sampingnya. Bahkan Won sempat memergoki Dara tertidur di dalam kelas, jika di pikir yang Won lakukan selama ini hanya duduk di depannya sampai jam istirahat berakhir. Won juga tau jika jam istirahat Dara saat di rumah sangatlah singkat.

Dara juga sering terbangun setiap malam, karena teringat hari dimana kedua orang tuanya meninggal kecelakaan. Itu masih menyisakan trauma mendalam baginya.

Won tersenyum, teringat jelas di dalam kepalanya saat pertemuan pertama mereka. Dara memaki ketiga temannya di samping sungai, sejak saat itu Won tau satu hal, Gadis pemberani itu telah lama melakukan hal baik dalam hidupnya.

"Dia tidak pernah ingin menyusahkanku, dia bahkan tidak ingin kuliah karena memikirkanku," ungkap Nenek pilu.

Air matanya kembali jatuh. "Ahh, kenapa aku kembali menangis?" Nenek bangkit dari duduk, lalu membawa semua piring kotor ke wastafel.

"Dara anak yang kuat!" serunya yakin.

"Kupikir juga begitu," sahut Won setuju. Dia beranjak menuju wastafel untuk melanjutkan pekerjaan sang Nenek. "Biar aku saja, Nek!" pintanya.

Dandeliar ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang