Satu bulan sebelumnya...
(Setting waktu sebelum prolog)Sorry for typo(s)
Kehidupan dari keluarga terpandang memang tidak bisa dianggap biasa, dari bangunan rumah yang mewah dan luas saja sudah bisa ditebak bagaimana isi perabotan, jumlah asisten rumah tangga dan segala kegiatan di dalam sana. Apalagi memiliki tiga keturunan yang sedang menempuh pendidikan, mereka harus menunjukkan kualitas diri.
Namun, ada beberapa keluarga yang membebaskan anak-anak untuk menjalani hidup mereka. Selama menjaga nama baik keluarga, tidak terlibat hal-hal yang mengancam nyawa, semua diperbolehkan. Itu dalam sudut pandang orang tua.
Kalau pada anak, sudah beda kasus lagi.
Seperti halnya yang dialami putri sulung keluarga Choi, berdiri di depan cermin dengan ukuran besar dari dalam kamar, gadis itu merapikan surai hitam terurai. Senyumnya cantik terukir sembari bersenandung kecil, jemari anak itu juga tengah merapikan poni yang baru saja lepas dari roll.
Atensinya beralih pada tas kuliah, buku-buku sudah ada di dalam sana. Tak lupa ponsel dan dompet juga.
Ketukan pada pintu terdengar, gadis itu berjalan menuju lemari pakaiannya dan mencari jaket kulit berwarna hitam hadiah ulang tahun sang ayah tahun lalu, "Masuk," perintahnya.
"Nona Koeun.."
Sembari memakai jaket tersebut, gadis itu membulatkan kedua mata. Koeun mendongak untuk melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Wajah wanita paruh baya yang sudah merawatnya dari kecil, nampak kelimpungan membangun adik-adiknya.
Dua dan laki-laki semua.
Si sulung Choi itu menghela napas panjang, mengibas surainya dengan tangan.
"Oh, mereka akan mendapat ucapan selamat pagi yang indah dari Noona tersayangnya ini!" ujarnya dengan lantang, kemudian keluar dari kamar menuju ke seberang ruangan.
Ada dua di sana, Koeun masuk di kamar sebelah kanan. Sangat gelap, bahkn tirainya masih tertutup. Yang ada hanya lampu di samping tempat tidur anak itu, surai hitamnya menyumbul dibalik selimut.
Tangannya terulur membuka kain berwarna putih polos tersebut, menyentuh pipi sang adik dengan gemas, "Bangun! Ayo sekolah, Jaeminie!"
"Hmm..."
"Tidak ada daun seledri untuk ramen tengah malam lagi?"
Ancaman tersebut berhasil. Anak itu bernama Jaemin segera bangun, meskipun maniknya masih tertutup sembari menguap serta kepala mengangguk.
Tawa kecil Koeun keluar dari belah bibirnya. Ia berbalik dan berjalan menuju ke kamar sebelah.
Sebelum berdiri di depan pintu saja, gadis itu sudah menghela napas panjang. Ia membuka kamar tersebut, maniknya mengedar pada komputer game yang masih menyala sedangkan pemiliknya sudah terkapar di atas ranjang sembari mendengkur.
Sepatu kets berwarna hitam itu menginjak karpet bergambar kartun, menyibak selimut biru tua sehingga menampilkan adiknya dengan bibir menganga sedikit. Jemari Koeun terulur mencubit pipi gembil itu dengan gerakan cepat.
"Hyuckieee! Bangun!"
Anak itu merengek, mengambil boneka beruang yang menjadi teman tidurnya untuk dijadikan bantal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haravale✓
FanfictionChoi Jaemin adalah senjata bagi dua keluarga yang saling bermusuhan. ©piyelur, Mei 2021.