H.21

2.6K 527 73
                                    


Sorry for typo(s)




Ruangan itu luas, tetapi begitu kotor karena adanya daun kering maupun potongan kayu yang telah dimakan oleh rayap menutup lantai, belum lagi dinding yang retak dan menghitam seakan terdapat bekas kebakaran. Debu-debu di sana membuat sesak dalam dada. Yang membuat Jaemin heran, bagaimana bisa ia terbaring di atas sebuah brankar usang rumah sakit di sini. Beberapa saat kemudian, maniknya bisa menangkap lebih jelas adanya meja dengan dua komputer di ujung ruangan serta berbagai botol obat di simpan dalam lemari kaca.


Dengan keadaan lemas, pemuda bermarga Choi itu bangun dan merasakan nyeri pada lengan kiri. Anak itu batuk beberapa kali seraya memukul dadanya. Tidak hanya berdiam diri, Jaemin berusaha untuk berdiri. Ia ingin berteriak, tetapi tak ada tenaga dalam tenggorokannya untuk mengeluarkan suara.



Sejenak, Jaemin berdiam mencoba untuk mengingat bagaimana bisa dia berada di sini. Hal terakhir yang diingatnya adalah berada di dalam taksi karena ditawari dengan harga murah. Renjun saat itu juga sudah mengeluh lelah untuk berjalan sehingga mereka tanpa berpikir panjang menerima tawaran tersebut.



Namun, di tengah jalan ada seseorang yang tiba-tiba masuk juga ke mobil tersebut. Ia mendengar Renjun berteriak sembari memukul, tetapi justru tak sadarkan diri setelah dihantam ke kaca pintu. Namun, untuk dirinya justru mendapat suntikan pada leher yang mana membuat Jaemin ikut terkulai lemas.


Tubuhnya lemah dengan perut yang keroncongan, apa sudah berhari-hari ia tidak sadarkan diri? Manik Jaemin mengerjap kemudian mencabut infus yang ada di punggung tangan.



Suara pintu terbuka membuat Jaemin mendongak. Kening anak itu berkerut, merasa belum bisa mengenali sosok yang masuk ke dalam ruangan, ada bunyi klik yang menandakan bahwa satu-satunya jalan keluar tersebut telah dikunci.



Penampilan seorang pria terlampau rapi dan mewah, di mana Jaemin mengamsumsi bahwa seseorang ini mungkin menjadi dalang penculikannya. Senyum yang jahat terukir pada wajah beliau, kemudian duduk di samping pemuda Choi sembari menyesap kopi dalam cup.



"Wah, sudah bangun ya?"



Pertanyaan retoris tersebut tidak membuat Jaemin membuka suara.



"Dosisnya mungkin kurang," gumam pria tersebut.



Dari sisi samping wajahnya, Jaemin justru merasa tidak asing. Manik yang sipit, wajah kecil, kulit putih, tetapi ia memberikan aura yang tidak menyenangkan bagi yang lebih muda.



"Ah, seharusnya kau sudah mati dalam kandungannya dulu," pria itu tiba-tiba melemparkan minuman tersebut ke dinding dengan raut wajah penuh amarah. Tangan beliau mengepal. "Sialan! Aku tidak tahu dia sedang hamil saat itu." Kemudian menoleh dengan seringaian jahat. "Padahal itu momen yang sangat berharga ya? Yoon Oh tidak ada. Argh!"


Semua kalimat itu menjadi puzzle dalam pikiran Jaemin, berhati-hati menyusunnya dalam batin. Kedua tangan anak itu mengepal, ingin berteriak dan bertanya mengapa ia melakukan kekejaman ini semua?



Bahkan, ketika tangan kotor beliau merangkul pada bahunya tidak mudah dilepas kemudian mengalung pada leher seakan mencekik pada nadi di sana.



"Sebagai keponakanku, kau harus memiliki kerendahan hati, ya? Kalau kau sudah mati sejak dulu, pasti si tua bangka itu tidak akan mengulur keinginanku. Yoon Oh itu memang menjadi sasaran empuk untuk kulenyapkan, tapi setelah tahu keberadaanmu di dunia. Semua rencanaku hancur. Putraku Jisung harus mendapatkan haknya."



Haravale✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang