Sorry for typo(s)
Hari yang lain di mana Jaemin masih belum bisa pergi ke sekolah, tetapi ia juga dengan bebas bisa keluar jalan-jalan hanya bermodalkan masker dan topi. Sering kali juga, ia mendapat panggilan video call dari si sulung Choi yang sedang berada di ruang kosong untuk menunggu kelas selanjutnya, kalau kebetulan juga Donghyuck istirahat, mereka bertiga akan mengobrol.
Setelah mendapat izin dari orang tua dan kakak-kakaknya, Jaemin bersama Jaehyun mengitari kota dengan mobil. Bahkan bisa sampai dua atau tiga jam perjalanan hanya untuk mencari kedai makanan yang terkenal atau objek wisata yang belum banyak dikunjungi orang-orang.
Sekitar pukul dua siang, rasa lelah mulai datang. Pada trotoar jalan yang menyediakan bangku serta taman sederhana, Jaemin duduk menghadap ke pemandangan kota. Maniknya menyipit sembari mengipasi wajah yang terasa panas, sesekali mengelap keringat yang jatuh membasahi pelipis. Kening anak itu berkerut ketika sinar matahari yang tiba-tiba meredup hanya di sekitarnya. Tawa kecil pemuda manis itu muncul seraya mendongak pada Jaehyun yang berdiri menghalangi teriknya siang hari.
Lelaki berlesung pipi itu membawa juga dua botol mineral yang baru saja dibeli dari supermarket ujung jalan. Sama seperti dengan keadaannya, Jaehyun bahkan sudah melepas jas hitam sehingga meninggalkan kemeja berwarna abu-abu yang lengannya dilipat sampai siku.
"Apa-apaan, Hyung ini. Ayo duduk!" ajaknya.
"Lebih baik masuk ke dalam mobil, Tuan."
Memang jauh lebih enak berada di dalam mobil dengan AC menyala, tetapi Jaemin tidak akan bisa merasakan suasana ini lagi ketika sudah kembali ke rumah. Netranya kembali terpaku pada pemandangan kota sekaligus gunung-gunung yang mengelilinginya. Senyum anak itu terpatri, ada angin yang berhasil membuatnya bisa menghela napas dengan panjang.
"Pasti sangat menyenangkan bisa hidup menikmati pemandangan seperti ini setiap hari. Acara televisi semakin ke sini, aku tidak menyukainya," yang lebih muda mendengkus. Salah satu alisnya terangkat karena Jaehyun sama sekali belum bergerak dari posisinya, dengan diikuti decakan bibir, Jaemin menarik lengan sang pengawal pribadi sampai membuatnya terduduk di samping. "Aku membutuhkan teman, Hyung."
"Jangan menggunakan tangan Anda yang terluka, Tuan."
Ah berbicara tentang itu, dua minggu lebih telah berlalu dengan cepatnya. Kini, Jaemin sudah tidak menggunakan penyangga tangan tersebut. Akan tetapi, sang ayah tetap bersikeras bahwa ia bisa masuk sekolah dimulai minggu depan setelah check-up dengan dokter selesai.
Benar kata Jaehyun, bahunya sedikit nyeri ketika bergerak terlalu cepat. Tangannya yang sehat ia ulurkan menerima botol minuman yang telah dibuka. Dalam beberapa tegukan, Jaemin menyisakan setengah air minuman yang kosong. Rasa dinginnya memberi kesejukan pada tenggorokan yang kering karena hawa.
"Hyung, kau tahu? Aku sudah membuat tabungan sendiri," anak itu sedikit tertegun oleh ucapannya sendiri kemudian menggeleng pelan. "Maksudku, Ayah yang membuka tabungan. Nanti uangnya aku gunakan untuk membangun rumah. Rumah di antara kota dan desa, pasti sangat menyenangkan, kan?" jelasnya sembari terkekeh.
Senyumnya semakin mengembang sampai pipi gembilnya terangkat. Jaemin seakan mendengar irama lagu yang membuat kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan.
"Aku ingin menanam sayuran sendiri, dan juga tidak perlu jauh-jauh lagi untuk menikmati pemandangan yang indah," sambung anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haravale✓
FanfictionChoi Jaemin adalah senjata bagi dua keluarga yang saling bermusuhan. ©piyelur, Mei 2021.