H.22

3.1K 506 71
                                    

Sorry for typo(s)



Choi Koeun bukan hanya berperan sebagai seorang kakak, dia bisa menjadi ibu serta teman bermain yang menyenangkan. Lembutnya dalam mengurus kedua adik sudah diperlihatkan, tetapi gadis itu juga bisa melawan siapapun yang akan memberi komentar buruk pada Jaemin dan Donghyuck — tentu saja dengan sikap elegan dan cerdas.

Seperti saat masa taman kanak-kanak si kembar sedangkan Koeun berada di sekolah dasar yang masih berada dalam satu yayasan. Kedua orang tua mereka saat itu masih meniti karir, berusaha ke sana kemari untuk menjadi lebih unggul. Maka dari itu, Donghyuck dan Jaemin lebih lama dititipkan di sekolah sembari menunggu jam pulangnya sang kakak. Para guru dan kepala sekolah sudah mengenalnya bukan hanya sekadar dari nama.

Siang itu, Koeun ternyata pulang lebih cepat. Hanya berselang satu jam, ia segera berlari menyusul ke penitipan anak-anak. Masih ada yang bermain dengan Donghycuk dan Jaemin, mau tak mau gadis itu harus bergabung dengan ibu-ibu di sana.

"Ibunya tidak mau menjemput ya, Nak?"

Awalnya Koeun tidak mau menanggapi, tetapi mengingat nama keluarga yang sedang disandangnya itu, membuat si sulung Choi mengurungkan sifat malas berinteraksi apalagi dengan yang lebih tua seperti ini. Dengarlah pertanyaan tadi? Sok tahu sekali!

Kepala gadis kecil itu mendongak dengan senyuman tipis. "Ibu kan sudah bekerja, mengurus kami sejak pagi tadi. Aku juga sudah besar kok, Bibi! Bisa menjaga adik-adik," jawabnya dengan sopan.

"Itu yang pipinya gembil, namanya Donghyuck ya? Dari tadi tidak bisa diam lho. Lari ke sana kemari."

Berusaha keras menahan geramannya, Koeun berdeham sembari tertawa. "Kan namanya bermain, Bibi. Masa harus diam di tempat saja? Jalan di tempat pun harus menggerakkan kaki, kan?" sahutnya sarkas.

Ternyata, tidak berhenti di situ saja. Wanita paruh baya dengan make up terlalu menor dan segala perhiasan dipakai itu kembali berkomentar.

"Adiknya itu, kenapa kurus sekali? Makannya sedikit ya?"

Manik Koeun mengamati tubuh si bungsu, memang ukuran tubuhnya lebih kecil dari Donghyuck.

"Oh iya?" gadis kecil itu berpura-pura tidak tahu. "Ibu tidak pernah absen memberi makan kami kok. Nasi yang di piring juga kupastikan milik mereka selalu habis karena kita makan bersama. Mungkin tenaga Jaemin dipakai untuk mendapat bintang lima di kelas setiap bulan. Keren kan? Adik aku PINTAR, Bibi! Itu hasil makan kami," jelasnya sembari terkekeh.

"NOONAAA! MAU PULANG!"

Atensi Koeun beralih mendapati dua adiknya sudah berdiri menghampiri kemudian duduk pada undakan untuk memakai sepatu slip on masing-masing. Tas pada bahu dibenarkan, ia mendekati Donghyuck dan Jaemin seraya mengulurkan tangan untuk digandeng.

Sebelum pergi, suara tangisan pada kelompok anak-anak bermain menggema saling bersahutan. Koeun mengulung senyumnya kemudian berbalik menghadap wanita pengomentar adik-adiknya.

"Itu anak Bibi kenapa membuat anak orang lain menangis ya?" sarkasnya kembali sembari memberi senyuman mengejek karena pada akhirnya Koeun memang tidak bisa menahan. "Oh, iya. Bibi terlalu sibuk mencari keburukan cara mendidik anak dari orang lain ya?"

"Ck.. ck..." gumam Donghyuck menirukan ekspresi sang ayah di rumah ketika melihat ibu mengomelinya yang terlalu aktif.

"Nanti dihukum mam es krim setengah saja," tambah Jaemin dengan gelengan kepala dramatis. "Jangan nakal-nakal!"

Haravale✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang