H.7

4.6K 746 75
                                    


Sorry for typo(s)




Suasana kelas hari ini sedikit berbeda, apalagi ketika para siswa melihat seorang Jeno Lee sudah datang lebih awal. Duduk di kursi guru menghadap pada pintu dengan tatapan serius. Sedari tadi, sosok yang dicari belum juga datang. Pesan singkat sudah dikirimkan beberapa kali, tetapi tak kunjung mendapat balasan. Sampai kemudian bel telah berbunyi, siswa terakhir — Huang Renjun sekaligus guru masuk ke dalam.


Dengan langkah malas, Jeno beranjak dari duduknya dan kembali ke meja sendiri. Maniknya melirik Renjun yang sama mengerutkan kening karena belum ada kehadiran Jaemin di dalam kelas.



"Choi Jaemin tidak masuk?" gumam sang guru dengan tatapan bingung karena tadi pagi, ia tidak mendapat pesan apapun.



"OMO!" pekikan salah seorang siswi di sana mengalihkan atensi mereka, gadis itu masih menatap ponselnya dengan raut wajah yang terkejut, "Choi Jaemin, putra dari Anggota Dewan Choi Siwon mengalami kecelakaan pada pukul 8.45 malam kemarin. Diduga peristiwa itu terjadi karena —



Kalimat tersebut tidak terdengar lagi oleh Jeno karena sudah menghambur keluar kelas. Tak peduli tatapan keheranan dari seorang guru yang dilewatinya begitu saja, tanpa membawa tas pun pemuda Lee itu berhasil melewati gerbang sekolah.



Larinya begitu cepat di trotoar depan sekolah, menghindari beberapa pejalan kaki tanpa mengucap maaf.



"LEE JENO!"


Langkah anak itu berhenti dengan napas tersengal, ia menoleh ke belakang dan mendapati si kecil Renjun juga tak kalah lelah sembari membungkuk dan menopang pada kedua lutut. Pemuda dari China itu meringis masih menggendong tas sekolah karena tanpa pikir panjang tadi langsung menyusul Jeno yang keluar.



"Kau sinting, ingin berlari ke rumah sakit?!" lalu si anak baru itu mengeluarkan sebuah kartu di saku celana seragamnya, "Ayo!" ajak Renjun dengan gerakan kepala menunjuk pada bus di halte.



Solusi tersebut membuat Jeno berdecak, ia justru menunjuk pada taksi kosong yang lewat, "Jauh lebih cepat," katanya.



"Uangku hanya cukup membayar bus ya! Memang kau membawa dompet?"



Tangan pemuda Lee terangkat seakan ingin melepas salah satu tali ranselnya, tetapi yang didapat hanya sebuah punggung kosong. Tanpa berkata, Renjun berbalik seraya mengangkat tangan untuk memberi kode pada bus supaya menunggunya kemudian diikuti oleh Jeno yang menyusul.



Karena sudah jam masuk kantor serta sekolah, keadaan bus sedikit lenggang. Mereka duduk di dekat pintu belakang bus. Jeno melirik sekilas pada teman satu kelasnya yang menghadap pada jendela dengan tenang.



"Terima kasih."



Kembali merapatkan bibir, Jeno sedikit menunduk sekilas tetapi bisa merasakan tatapan dari sisi kirinya. Ia mendengar pemuda Huang itu tertawa kecil dan sebuah tepukan pada bahu.



"Bukan apa-apa," sahutnya, "Tapi jangan sekali-kali panik sampai melupakan sesuatu yang penting. Niatmu ingin menjenguk, justru nanti bisa saling menjenguk. Apapun kalau dilakukan dengan terburu-buru hasilnya pasti mengecewakan."



Ucapan Renjun di sana diresapi oleh si bungsu Lee dengan baik. Tidak asing juga sepertinya karena Mark juga pernah mengatakan yang sama maksud dari nasihat tersebut. Kalau berpegang teguh pada usia muda, kapan Jeno akan bertambah dewasa jika sifat seperti ini masih menguasainya?



Haravale✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang