H.9

3.9K 691 132
                                    


Sorry for typo(s)





Sebagai bungsu di keluarga terkadang membuat seorang Lee Jeno tidak merasa adil, ketika sang kakak bisa pergi bersama dengan teman-teman memakai alasan kerja kelompok — yang ia yakini adalah alasan saja untuk melakukan penyelidikan bersama Hacker atau apapun pekerjaan yang dimiliki oleh lelaki bernama Taeyong tersebut. Sebab itu, pemuda yang memiliki tahi lalat di bawah mata harus menemani sang ibu memutari beberapa toko di mall.



Dari mulai kemeja, jas, dasi, sepatu bahkan pakaian dalam juga. Ada sekiranya dua pelayan rumah yang ikut serta membawa barang belanjaan. Si bungsu melihat jam pada layar ponselnya, sudah empat jam mereka di sini.



"Eh, sebentar — wanita dengan surai hitam panjang itu berbalik menghadap putranya yang sudah merengut kesal dan lelah, yang mana membuat Tiffany menghambur dan memeluk lengan sang buah hati — maaf ya, Sayang. Tapi Ibu baru ingat kalau kemarin Mark ingin membeli jaket baru. Ayo, sekalian Ibu belikan untukmu ya? Apapun terserah Jeno, oke?" bujuk beliau sembari mencubit pipi putra remajanya.


"Dua?"


"Iya, boleh," sahut sang ibu dengan senyuman lebar.


Namun, sebelum itu beliau menghadap pada kedua pelayannya seraya memberikan selembar uang untuk membeli makan atau apapun supaya tidak ikut. Tiffany menginginkan waktu berdua dengan putra bungsunya ini.



Di tengah jalan pun, mereka sempat berpose selfie untuk dikirimkan pada Ayah serta sang kakak. Meskipun lelah, Jeno merasa senang melihat cantik Ibunya yang ditambah dengan senyum menghias wajah beliau. Mereka bertingkah layaknya pasangan anak dan ibu, tanpa mengingat status keluarga. Jeno juga tidak malu merangkul beliau, bahkan terlihat protektif seperti seorang suami.


"Sebentar, Nak...."



Kedua alis Jeno terangkat melihat sang ibu tiba-tiba melepas rangkulan kemudian berlari ke seberang toko. Ia melihat banyaknya perlengkapan baju dan segala keperluan bayi telah dipajang. Raut wajah si bungsu Lee itu berubah datar, hatinya berdesir nyeri kala melihat wanita itu tengah mengambil gambar dua patung anak kecil yang memakai baju kembar.



"Dulu, ketika Ibu hamil sering sekali belanja di sini. Baju-baju kalian dari sini semua," ceritanya masih mengusap lembut baju tidur kembar dengan motif bintang-bintang tersebut. Meskipun tersenyum, Jeno tahu ada rasa sakit yang dipendam.



Dengan langkah pelan, ia melingkarkan lengan di leher beliau untuk memberi pelukan. Tiffany tertawa kecil di sana, usapan lembut diberikan pada lengan sang putra. Mereka diam beberapa saat di sana, tak peduli tatapan heran yang dilayangkan orang.



"Kenapa kita tidak minta bantuan Ayah? Pasti semua akan selesai dengan cepat," lirih Jeno di sana.



"Dan membuat gempar berita tentang dewan? Apa yang dipikirkan rakyat nanti, Nak?"



"Aku tidak peduli."



Tiffany berbalik, jemari lentiknya mengusap wajah sang buah hati yang sudah melebihi tingginya. Wanita itu masih ingat bagaimana ia melahirkan dua bayi kembarnya.



"Tidak semudah itu, Jeno," beliau memberitahu, usapannya turun pada dada si bungsu Lee dan memberi usapan pelan di sana, "Ibu... Sudah ikhlas."



Kalimat tersebut tentu saja membuat Jeno tertegun, ia tidak percaya bahwa ibunya telah mengutarakan pernyataan menyakitkan. Anak itu menggeleng heboh sembari memegang kedua bahu beliau. Maniknya menatap lurus pada Tiffany yang menahan air mata dengan senyuman.



Haravale✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang