BAB 2 - Langit.

8K 475 3
                                    

Suasana kantin sekolah cukup ramai siang ini. Beberapa booth makanan tersaji memiliki antrean panjang. Senja mendesah lemah, ia sudah sangat lapar tetapi antrean yang panjang membuatnya malas untuk berdiri sedikit lebih lama. Cuacana siang ini sudah cukup panas, ditambah harus berdiri dalam waktu yang cukup lama membuatnya bergidik ngeri. Tubuhnya lemah, dia tidak boleh memiliki aktivitas berlebihan untuk tetap baik-baik saja.

"Lang, males kalau ngantre."

"Biar si Aldo yang ngantre. Doi suka ngantre sambil tebar pesona."

"Sialan lo Lang! Gue nggak pernah tebar pesona, gue cuma sayang aja kalau kegantengan gue cuma buat kalian-kalian itu," ucap Aldo tak terima. Ia berdiri sambil mengikrarkan kegantengan yang sebenarnya tidak berguna sama sekali. Bagaimanapun memang Aldo adalah salah satu dari beberapa laki-laki tampan di sekolah ini. "Quen-nya Langit, mau makan apa?"

"Gue bakso aja."

"Lo dari kemarin udah micin mulu, Nja. Ganti deh."

"Ih dasar tukang ngatur," jawab Senja sebal. "Gue pecel aja deh sama telur mata sapi ya." Senja sempat protes tetapi tetap menuruti perintah Langit.

"Siap, Komandan! Kalau The King, maunya apa?"

"Sama." Langit jika sudah asik dengan game di tangannya seakan hidup sendiri di dunianya.

Senja duduk di samping Langit sambil memperhatian sahabatnya yang sedang bermain game. Walaupun sebenarnya pikiran Senja sedang tidak terpusat di hal itu. Ia mengingat tadi pagi sewaktu Langit menunggunya bersiap, Mama Erli menghubunginya. Wanita itu meminta Senja untuk membujuk Langit berkunjung ke rumah orangtuanya.

"Om Tengku nanyain gue kapan maen ke rumah," cicitnya mulai ragu.

"Terus?" jawab Langit tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel.

"Kok terus sih?"

"Ya kan lo yang ditanya kapan maen ke rumah?"

"Kalau gue ditanya seperti itu artinya Mama Erli nanya juga kapan lo pulang? Kan gue kesana pasti sama lo, Langit."

"Males."

"Ckk ... Ayolah Lang, baikan sama bokap lo. Nggak capek marahan terus?"

"Nggak, Nja. Lo tahu sendiri doi nyuruh gue kuliah di Boston. Di Indonesia itu pendidikannya udah bagus ngapain gue harus jauh-jauh kesana? Lagian bayarnya mahal. Daripada buat kuliah kesana mubadzir mending di kasih ke kaum duafa."

"Laang, gue tahu ini bukan tentang jauh dan mahal. Lo cuma nggak mau ninggalin gue di sini sendiri, kan?" tanya Senja memastikan.

"Nah! Lo tahu alasan gue. Kalau gue ke Boston berarti lo juga harus kuliah di sana," putus Langit final.

"Gue kan kuliah kedokteran. Kalau kata bokap, karena mau mengaplikasikan ilmu di Indonesia, gue lebih baik kuliah di sini aja."

"Ya udah jelas kan?"

"Lang, beda sama lo yang kudu pegang perusahaan Om Tengku. Pendidikan di luar negeri lebih bagus buat ngembangin perusahaan bokap lo."

"Nja, please!"

Senja terjengkit dan menjauh dari Langit ketika laki-laki itu kini sudah menampilkan wajah serius. Tidak ada sama sekali guratan kelembutan di wajahnya membuat Senja harus berhati-hati karena Langit jika sudah marah bisa sangat menakutkan.

"Gue kuliah di negara yang lo ada di dalamnya, Itu keputusan gue! Jangan coba paksa gue buat berubah."

"Here we go, makanan sudah datang hai pemegang tahta kekaisaran Dynasti Adjiwongso." Aldo mendekat sambil membawa makanan di kedua tangannya. "Duh gue lagi salah sikon nih kayanya," celetuk Aldo kemudian ketika melihat mimik wajah Langit yang tegang dan Senja yang terlihat menciut takut.

Diantara Langit & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang