Rasanya baru sepuluh menit yang lalu Langit memejamkan mata tetapi bunyi alarm di ponselnya sudah berdering, sangat berisik dan menyakiti telinga. Langit memaksa matanya untuk segera terbuka, samar-samar ia melihat kilauan cahaya dari balik gorden di kamar apartemen.
Ia kembali memejamkan mata untuk menetralkan pandangan lalu mendengus sebal karena ia baru saja beristirahat dalam beberapa jam, tetapi bumi seakan tidak menginginkan Langit beristirahat dan memilih merenggut kenyamanan tidurnya.
Setelah semalam Langit berakhir dengan alkohol hingga pagi menjelang, Langit masih belum puas. Ia masih merasakanan kekosongan di beberapa ruang di dalam hatinya.
Klik..
Bunyi tanda pintu apartement terbuka, ia sangat berharap besar bahwa Senja yang akan datang dan ikut berbagi rasa dengannya. Tetapi justru sosok Papa Langit yang datang dibalik pintu kamar. Langit tidak bisa marah, rasa sakit di kepalanya hanya mampu membuatnya diam menunggu kejadian apa yang akan menimpanya selanjutnya.
"Seperti ini sikap kamu sebagai Adjisuseno?"
"Papa mau apa kesini?"
Tangan Tuan Tengku bergerak ke udara, memberikan kode kepada pengawal yang kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat ke tangannya. Dengan gerakan cepat Tuan Tengku melemparkan amplop itu ke sisi Langit. Langit bergerak dengan malas mengambil amplop coklat itu, kemudian melihat isinya. Beberapa foto kebersamaan dia dan Jelita. Tidak merasa gentar dengan apa yang akan diucapkan Papanya nanti, tetapi justru Langit merasa hatinya kembali dicubit melihat kebersamaan dirinya dengan Jelita. Bagaimana keadaan gadis itu sekarang?
"Kamu pacaran dengan gadis miskin tidak jelas asal-usulnya, Lang? Apa yang bisa papa harapkan dari seorang keturunan Adjisuseno seperti kamu?"
"Langit memang tidak pantas jadi keturunan Adjisuseno."
"Ya, dan kamu semakin menegaskan hal itu! Tetaplah seperti ini, dan Edwin akan mengambil posisi mu sebagai pewaris keluarga Adjisuseno."
"Langit tidak peduli."
Tuan Tengku berdecak, kedua tangannya ia usapkan dengan gusar ke wajah. "Kamu sudah mengecewakan saya Langit!"
"Bukannya sudah sering?"
"Ya, kamu mengecewakan saya sebagai keturunan Adjisuseno. Kamu sangat berbeda dengan Edwin yang terlihat begitu siap memegang perusahaan, sedangkan kamu masih terlalu menikmati masa mudamu bermain dengan wanita yang tak jelas asal usulnya."
"Jaga ucapan Papa."
Papanya boleh selalu membandingkan dirinya dengan Edwin, sepupunya yang memiliki segudang prestasi luar biasa. Tetapi jika Papa-nya menyinggung nama gadis itu, ia tidak terima. Yang boleh menilai dan menyakiti Jelita hanyalah Langit.
"Dan kamu tahu? Tunangan Edwin adalah salah satu anak dari diplomat terbaik di negri ini, posisimu kalah Langit, KALAH!! Kamu sangat jauh berbeda dengan Edwin, semakin kesini Papa semakin sadar bahwa kamu memang tidak pantas di bandingkan dengan Edwin."
"Papa dari dulu sudah menegaskan hal itu. Sejak Langit kecil, Papa selalu mengunggulkan Edwin, selalu membanding-bandingkan Langit dengan dia, bukankah itu benar?"
"Papa hanya ingin membuatmu sadar bahwa kamu harus bekerja keras untuk mengamankan posisimu? Ngerti kamu!"
"Pernah Papa memikirkan perasaan Langit?"
Tuan Tengku terdiam, kalimat Langit membungkam dirinya. Selama hidupnya Tuan Tengku sering berhadapan dengan anak-anak muda yang memiliki semangat juang tinggi, mencoba mencari cara agar ia bisa merubah nasib keluarganya. Tetapi dengan anaknya sendiri? Tuan Tengku merasa Langit sangat berbeda, anak itu terlalu sulit untuk ia kendalikan dan semua ini adalah salah istrinya yang selalu memanjakan Langit sejak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Langit & Senja
RomanceKeberadaan Jelita menjadi bayangan di belakang seorang Langit dan Senja. Kehadirannya tak berarti, hanya sebagai pelarian Langit dari rasa cinta kepada sahabatnya sendiri. Hingga sepuluh tahun perpisahan keduanya, semuanya tak lagi sama. Sebuah raha...