Bab 30 - Senja aneh

4.8K 321 9
                                    

Suara bunyi mesin pemotong rumput milik Pakdhe Tunji menyambut kedatangan Langit di rumah orangtuanya. Hari ini adalah hari Minggu. Sejak hubungan dengan orangtuanya membaik, setiap Minggu biasanya Langit menyempatkan untuk mampir ke rumah orangtuanya seperti sekarang. Ia sedang berjalan dengan menutup kedua telinga ketika mesin Pakdhe Tunji begitu menusuk.

Mengetahui tuannya terlihat tersiksa, Pakdhe Tunji mematikan mesin dan menghentikan aktivitasnya sejenak.

"Pakdhe kalau lagi potong rumput pakai penutup telinga. Biar nggak sakit."

"Udah biasa, Den."

"Ya itu nggak baik. Minggu depan Langit bawakan, kasihan telinganya kalau kaya gitu," ucap Langit memaksa. "Itu juga kayanya mesinnya udah harus ganti yang baru -yang nggak berisik."

"Mau di beliin juga mesinnya, Den?"

"Ya ya besok saya belikan."

Pakdhe Tunji menunjukkan deretan giginya ketika mendapatkan janji dari Langit. Dia mengucapkan terima kasih dan kembali melanjutkan aktivitasnya ketika Langit sudah masuk ke dalam rumah.

"Maa, Paa," sapa Langit ketika mendapati kedua orangtuanya yang sedang bersantai di samping taman sambil menikmati teh hijau hangat dan roti bakar.

"Eh Lang, tumben pagi-pagi sudah kesini?" tanya Papa Tengku.

Langit hendak mengambil roti bakar yang hanya tinggal satu di piring karena dia lapar. Dia belum sarapan apapun ketika berniat datang kesini. Namun tiba-tiba ia mendapatkan pukulan ringan dari Mamanya. "Cuci tangan dulu, main comot aja."

Langit mengusap-usap tangannya yang sebenarnya tidak sakit, hanya ia sedang melebih-lebihkan saja.

"Tumben pagi-pagi sudah kesini?" tanya Papa Tengku sekali lagi. Ia tidak suka ketika tidak mendapatkan perhatian dari Langit.

"Nanti mau ke Bandung."

"Ke tempat Jelita?" tanya Mama Erli.

"Ck, ke tempat Senja."

Mama Erli terlihat mendengus sebal kemudian kembali memusatkan perhatian ke arah taman yang berada di hadapannya. "Kan sambil mampir ke rumah Jelita juga nggak apa-apa, nanti Mama kasih tahu alamatnya kalau mau."

"Maa," tegur Langit terdengar frustasi. "Sebenarnya ada hal penting yang ingin Langit sampaikan ke Mama. Boleh Langit ngomong serius sama Mama?"

"Silahkan," jawab Mama Erli dengan tetap mempertahankan pandangannya ke arah taman. Sedangkan Papa Tengku terlihat memberikan atensi penuh ke pada istri dan anaknya ketika ada kalimat 'serius' di perkataan Langit. Apa Dia sudah mengabaikan sesuatu hal yang penting?

"Langit mohon, Mama jangan menciptakan asumsi sendiri tentang hubungan Langit dan Jelita. Biarkan Langit menyelesaikan masalah Langit sendiri —dan tentang Jelita?" Langit menjeda kalimatnya. "Langit tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Jelita. Kita hanya sebatas teman, itu saja."

"Mama nggak ikut campur, Mama itu -."

"Langit tidak suka Mama terlalu dalam ikut campur ke masalah pribadi Langit," potong Langit.

Tiba-tiba Mama Erli berdiri dengan kasar menimbulkan suara yang cukup keras dari kursi tempatnya duduk, membuat Papa Tengku dan Langit terkejut. "Mama itu hanya seorang ibu yang menyayangi anaknya, menginginkan yang terbaik untuk anaknya," ucap Mama Erli dengan nada marah.

"Langit sudah bilang kalau Langit tahu yang terbaik untuk Langit." Langit mencoba mempertahankan nada lembut agar tidak menyinggung perasaan Mamanya.

"Kamu sudah dua puluh delapan tahun Langit! Teman seusiamu sudah menikah, minimal sudah membawa calon istri! Lha kamu? Sekalipun kamu tidak pernah mengenalkan Mama dengan wanita yang dekat denganmu! Sebagai ibu, Mama takut, takut sekali." Mata Mama Erli menahan amarah, bibirnya terkatup dengan bergetar. "Lihat Edwin, bulan depan dia menikah dan kamu?"

Diantara Langit & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang